Selasa, 03 Mei 2011

Takhrij al-Furu' ala al-Ushul


تخريج الفروع على الأصول
(SEBUAH KAJIAN PENDAHULUAN)
Disusun
O
l
e
h

H A S W I R
NIM : 10 S3 031


DOSEN PEMBIMBING :
DR. H. MAWARDI MUHAMMAD SHALEH, MA



PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2011

TAKHRIJ AL-FURU’ ALA AL-USHUL
Oleh : Haswir[1]

A. Pendahuluan’
Perkembangan sosial masyarakat Islam demikian pesat sehingga menuntut para ulama untuk senantiasa cerdas dan bijak dalam menilai situasi dan kondisi umat. Salah satu aspek yang selalu aktual di kalangan umat dan ulama Islam adalah masalah hukum fiqh, karena fiqh diharapkan mampu mengikuti dinamika masyarakat Islam yang semakin kompleks. Pencarian hukum untuk menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak masa sahabat. Tradisi sahabat melahirkan pemikiran fiqih ini kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya yang dikenal dengan masa Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in, masa ijtihad imam-imam mazhab, masa kecemerlangan fiqh dan periode taqlid, serta era kebangkitan kembali dari taqlid.
Salah satu kegiatan ilmiah di biang fiqh dan ushul fiqh adalah mengembalikan berbagai pendapat ulama fiqh kepada ushul yang telah dirumuskan oleh para imam mazhabnya, serta menjelaskan sebab-sebab perbedaan pendapat dan dasar pijakan pendapatnya, dan yang tak kalah penting adalah menjadikan ushul fiqh tidak hanya sekedar konsep teoritis tetapi mampu menjadi ilmu terapan yang praktis. Tulisan ini mencoba mengungkap upaya mengembalikan setiap pendapat fiqh kepada ushulnya, dengan tujuan agar dapat diketahui bagaimana suatu pendapat muncul dan dasar pemikiran perumusannya. Memang penulis akui bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis sangat berharap kiranya pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini.      
B. Pengertian Takhrij, Furu’ dan Ushul
Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij merupakan bentuk mashdar  dari kata خرج – يخرج – تخريج  yang berarti mengeluarkan, mengeluarkan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua warna. Takhrij sebagai mashdar dari kharraja menunjukkan bentuk fi’il muta’addi, yang keluar itu bukanlah substansinya tetapi faktor eksternal, contohnya mengeluarkan sesuatu dan memintanya keluar berarti menggalinya dan menuntutnya keluar. Dalam Lisan al-Arab karya Ibn Manzhur, takhrij memiliki berbagai makna, seperti :  [2]
التخريج:
تخريج الراعية المرتع: أن تأكل بعضه وتترك بعضه. وخرجت الإبل المرعى: أبقت بعضه وأكلت بعضه.وعام فيه تخريج: أي خصب وجدب، وكذلك أرض خرجاء وفيها تخريج وعام فيه تخريج: إذا أنبت بعض المواضع ولم ينبت بعض. وتخريج الأرض: أن يكون نبتها في مكان دون مكان. وخرج الغلام لوحه تخريجًا: إذا كتبه فترك فيه مواضع لم يكتبها

Menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah Ummul Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, takhrij memiliki berbagai pengertian sesuai dengan bidang ilmu orang merumuskannya. Pertama menurut ulama hadis, takhrij adalah mengembalikan hadis Nabawi kepada musnadnya atau kitab-kitab yang memuatnya. Kedua, memfokuskan pembicaraan dan menghilangkan prasangka yang menentangnya. Ketiga, menganalogikan suatu masalah kepada kasus yang menyerupainya, setelah memahami makna yang menjadi alasan adanya hukum pada masalah pertama. Keempat, menggali ushul dari furu’. Kelima, membangun furu’ dari ushul, baik furu’ itu yang sudah difatwakan oleh para imam atau belum. Pengertian inilah yang dipakai dalam pembahasan ini. [3]  
Menurut Ibn Taimiyah, takhrij adalah : وَأَمَّا التَّخْرِيجُ : فَهُوَ نَقْلُ حُكْمِ مَسْأَلَةٍ إلَى مَا يُشْبِهُهَا ، وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِيهِ ( memindahkan hukum suatu masalah kepada kasus yang menyerupainya atau ada kesaamaan antara keduanya. [4] Defenisi ini juga digunakan oleh al-Mardawi [5] dan Ibn Badran. [6] Ibn Farhun[7] mendefenisikan takhrij dengan إستخراج حكم مسألة من مسألة منصوصة. (mengeluarkan hukum suatu masalah dari suatu masalah yang ada nashnya). Sedangkan menurut al-Syekh Alawi al-Saqaf, أن التخريج ان ينقل فقهاء المذهب  الحكم من نص إمامهم فى صورة إلى صورة مشابهة (takhrij adalah fuqaha’ suatu mazhab menukilkan hukum dari pendapat imam mereka dalam satu bentuk kepada bentuk yang serupa.[8] Defenisi lain dikemukakan oleh  Syek Muhammad Riyadh : أن التخريج ان ينظر مجتهد المذهب فى مسألة غير منصوص عليها فيقيسها على مسألة منصوص عليها فى المذهب (Takhrij adalah seorang mujtahid mazhab meneliti masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab). [9]
Kata Ushul merupakan bentuk jama’  dari kata Ashal, secara bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu, baik bangunan itu kongkrit atau abstrak. Menurut istilah, ushul memiliki beberapa makna, antara lain : (1) bermakna dalil seperti dalam contoh : سنةالأصل فى وجوب الصلاة الكتاب وال “dalil wajib sholat adalah Alqur’an dan sunnah”, (2)  bermakna kaidah umum yaitu  satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya, seperti dalam contoh : بني الإسلام على خمسة أصول “Islam dibangun diatas lima kaidah umum”, (3) bermakna al-rajih ( yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh : الأصل فى الكلام الحقيقة  “pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya”,(4) bermakna asal tempat menganologikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya khamar merupakan asal ‘ (tempat mnegiyaskan) narkotika, dan (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah, misalnya, seseorang yang menyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu apakah wudhu’nya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fiqh mengatakan : الأصل الطهارة “yang diyakiki adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu”. Artinya, dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu. [10] Menurut ulama fiqih, ashal adalah tempat hukum yang ditetapkan dengan nash atau ijma’, dan menurut Mutakallimin, ashal itu adalah nash yang menunjukkan hukum, karena ashal itu yang menjadi landasan pembangunan hukum. [11] Dalam istilah qiyas, ashal adalah sesuatu yang ada nash hukumnya. [12]
Kata furu’ merupakan bentuk jama’ dari far’un yang berasal dari kata fara’a, farra’a dan tafarra’a yang berarti cabang atau bercabang. Far’u atau furu’ menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. [13] Furu’ selalu dipakai untuk menggambarkan permasalahan sosial yang senantiasa berkembang sehingga tidak lagi terjangkau oleh nash, dan untuk mendapatkan hukumnya mesti melalui proses qiyas.
 Para ulama terdahulu tidak memberikan defenisi terhadap cabang ilmu ini. Defenisi baru diberikan oleh ulama generasi berikutnya, khususnya para pentahqiq dalam bidang ilmu ini. Berbagai komentar ulama seputar masalah ini antara lain :
  1. Prof. Muhammad Ali Farkus dalam muqaddimah dan tahqiq kitab Miftah al-Wushul ila Bina’ al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Tilimsani mengatakan :”Telah berlaku hikmah tasyri’, yaitu bertambah lapangnya umat dengan terbukanya pintu penggalian hukum-hukum dari nash-nash syariah dalam berbagai masalah dan kasus-kasus terbaru, tersingkap pula hubungan yang kuat antara kaidah ushuliah dan furu’ fiqhiah. Hubungan inilah yang dikenal dengan takhrij al-furu’ ala al-ushul.
  2. Dr. Muhammad Hasan Hito, dalam penjelasan ilmu ini setelah menjelaskan kemuliaan ilmu ushul fiqh dan istinbath hukum-hukum syara’ tergantung padanya, mengatakan : para pelopor ilmu-ilmu syariah biasa mendefenisikan seputar hubungan antara qaidah-qaidah ijmali dan cabang-cabang fiqh ini dan seputar pengaruhnya terhadap perbedaan dalam-dalil ijmali. Jadi ilmu ini menjadi gambaran pengetahuan tentang hubungan antara qaidah-qaidah ushul ijmali dan cabang-cabang fiqh.
  3. Dr. Ya’qub al-Ba Husain mendefenisikannya sebagai ilmu yang membahas tentang illat-illat atau sumber hukum syariat untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan bagi sebab-sebab perbedaan pendapat atau untuk enjelaskan huku kasus yang tidak ada nashnya dari para imam dengan emasukkannya kedalam qaidah-qaidah dan ushul mereka.
  4. Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi mendefenisikan dengan : Penggalian hukum-hukum kasus terbaru yang belum dikenal adanya pendapat imam-imam mazhab dalam masalah tersebut. [14]   
Dari berbagai defenisi di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ya’qub al-Ba Husain dalam kitabnya al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,[15] memberikan beberapa pengertian, antara lain :
  1. Secara umum, takhrij menyampaikan kepada ushul dan qaidah yang dibangun para imam sebagai landasan sesuatu yang mereka kaitkan kepada hukum-hukum dalam masalah fiqh yang dinukil dari mereka.
  2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan pemikiran fiqih kepada qaidah ushul, menurut cara yang ditempuh kitab Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Zanjani dan kitab al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Asnawi, atau kitab al-Qawa’id wa al-Fawa’id al-Ushuliyah wa al-Fiqhiyah karya Ibn Lahham.
  3. Kadang-kadang takhrij – sesuai kebiasaan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, bermakna penggalian hukum terbatas (al-istinbath al-muqayyad), artinya menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah juz’iyat yang tidak ada nashnya dengan cara mencari relevansinya dengan sesuatu yang menyerupainya, atau dengan memasukkannya kebawah salah satu qaidah. Takhrij menurut makna ini adalah apa-apa yang diperbincangkan oleh fuqoha’ dan ushuli dalam pembahasan ijtihad dan taqlid dan dalam kitab-kitab yang terkait dengan hukum-hukum fatwa, dan inilah yang disebut Takhrij al-Furu ala al-Furu’.
  4. Fuqaha’ kadang-kadang memperluas takhrij dengan makna penalaran illat (al-ta’lil), atau mengarahkan pendapat-pendapat yang dinukil dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat dan menyandarkan hukum kepadanya.
C. Hubungan Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul dengan ilmu-ilmu yang lain : Ushul Fiqh, Fiqh, Qawaid Fiqhiyah, al-Asybah wa al-Nazhair
Berdasarkan pemakaian istilah takhrij di kalangan fuqaha’ dan ushuliyun, menurut Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthani, ditemukan adanya hubungan dengan berbagai cabang ilmu lain, sebagai berikut :
1.      Salah satu macam takhrij adalah menghubungkan kepada ushul dan qaidah para imam secara deduktif dan mengikuti cabang-cabang fiqih yang diterima dari mereka, menyingkapkan illat dan korelasinya, dan kami berpandangan bahwa inilah yang disebut Takhrij al-Ushul ala al-Furu’. Pada hakikatnya, takhrij dengan makna tersebut bukanlah ilmu yang terbatas, tetapi buahnya adalah Ushul Fiqh dan  qaidah-qaidahnya yang umum, tetapi ia bukan ilmu ushul itu sendiri sebab buahnya berada di luar hakikat dan materinya. Defenisi lain yang dapat kami berikan adalah bahwa “takhrij itu adalah ilmu yang menyingkapkan ushul dan qaidah-qaidah para imam dari berbagai cabang fiqih dan penalaran illatnya terhadap berbagai hukum. Sebagai contoh, adalah apa yang dilakukan oleh Imam Abu Ya’la al-Farra’ dalam kitabnya al-Uddah yang dipandang sebagai kitab Ushul dalam mazhab Hanbali. Imam Abu Ya’la begitu sangat bersemangat menjelaskan pendapat-pendapat imam Ahmad dalam berbagai masalah ushul dengan menggalinya dari berbagai riwayat lalu menisbahkannya kepada imam Ahmad, menjelaskan penisbatan itu apakah dengan metode al-nash, al-isyarah atau al-ima’... [16]
2.      Mentakhrij furu’ dari ushul. Model takhrij ini menjadi ilmu yang independen dan aplikatif. Para fuqaha’ sejak abad IV H telah menyusun banyak karangan yang mengembalikan aneka ragam fiqih kepada ushul yang menjadi landasan pendapat fuqaha’, maka mentakhrij furu’ dari ushul adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat yang mendorong fuqaha’ mengambil hukum-hukum bersumber dari pendapat mereka. Imam al-Zanjani mengatakan :” Jelaslah bagi anda bahwa furu’ dibangun dari ushul, dan orang yang tidak memahami cara istimbath dan tidak mengetahui bentuk hubungan antara hukum-hukum furu dan dalil-dalilnya yaitu ushul fiqh, maka ia tidak akan melihat keluasan lapangan kajian ini, dan tidak memungkinkannya mendapatkan furu’ dari asal kapanpun, sebab masalah-masalah furu’ itu berdasarkan keluasan dan kelapangannya dan setelah sampainya ia kepada ushul yang diketahui, siapa yang tidak mengetahui ushul dan kasus-kasus (audho’)nya berarti ia tidak mendapatkan ilmunya. [17] Imam al-Asnawi menjelaskan maksud kasus-kasus (audho’) itu, katanya : “Peneliti mengetahui sumber pendapat yang telah ditetapkan oleh pengikut mazhab kami, yang mereka jadikan sebagai ashal, yang mereka perbagus dan mereka perinci...”
3.      Pengamat pembagian takhrij mencatat adanya hubungan kesejarahan yang masuk dalam pertumbuhan masing-masing bagian.
4.      As-Suyuthi berkata : Ketahuilah bahwa fan (cabang ilmu) al-Asybah wa al-Nazha’ir merupakan cabang ilmu yang besar, darinya muncul dan ditemukan hakikat fiqih, sumber-sumber dan rahasia-rahasianya, mempermahir memahami dan mengemukakannya, menambah kemampuan untuk menghubungkan dan mentakhrij, mengetahui hukum-hukum masalah yang tidak ketentuannya, demikian juga kasus-kasus dan perkara-perkara yang belum diputuskan sepanjang zaman. Karena itu, sebagian pengikut mazhab kami berkata : Fiqh itu mengenal berbagai persamaan. Ini bersumber dari perkataan Umar ibn al-Khattab : Fahamilah, fahamilah hal-hal yang meragukan dalam hatimu yang belum sampai ketentuannya kepadamu dalam kitab dan sunnah, kenalilah hal-hal yang serupa (al-amtsal) dan yang mirip-mirip        (al-asybah), kemudian qiyaskanlah berbagai persoalan yang engkau hadapi lalu pegang teguhlah putusan yang paling dicintai Allah dan paling mirip dengan kebenaran sesuai pendapatmu..., kata Umar :” pegang teguhlah putusan yang paling dicintai Allah dan paling mirip dengan kebenaran sesuai pendapatmu...mengisyaratkan bahwa dari hal-hal yang terlihat sama (nazha’ir) ada pula yang bertentangan dalam hukum karena ditemukan kekhususannya, dan inilah yang disebut al-Furuq, yang disebutkan didalamnya perbedaan antara hal-hal berbentuk sama, yaitu satu rupa dan makna namun berbeda hukum dan illatnya...” Berdasarkan ungkapan tersebut, jelaslah hubungan antara ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul dan al-Asybah wa al-Nazha’ir  yaitu satu dalam makna, baik dalam bentuk hubungan furu’ yang banyak dengan satu qaidah atau hubungan furu dengan masalah-masalah yang baru. Dari perkataan al-Suyuthi ini terungkap bahwa ilmu takhrij merupakan buah dari ilmu al-Asbah wa al- Nazha’ir. [18]
D. Topik-Topik Pembahasan Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul
1. Qaidah-qaidah ushuliyah dari aspek pembinaan furu’ fiqih padanya
2. Furu’ fiqhiyah dari aspek pembinaannya di atas qaidah-qaidah fiqhiyah
E. Sumber-Sumber Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul
Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul merupakan ilmu yang menggabungkan dua ilmu, yaitu ushul fiqh dan fiqh, maka sumber ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul  adalah gabungan keduanya. Ilmu ini mengambil sumber qaidah-qaidah ushul dari ilmu ushul fiqh dan mengambil cabang-cabang fiqh dari ilmu fiqh dan menghubungkannya kembali kepada ushul. Ini adalah bentuk takhrij yang pertama yaitu adanya hubungan furu’ yang ada dengan ushulnya yang jelas.
Bentuk kedua adalah penggalian hukum-hukum kasus dan problematika kontemporer yang tidak ada pernyataannya dari ulama, juga bersumber dari ushul qaidah-qaidah ushuliyah yang menjadi landasan furu’ yang baru, sebagaimana furu’ itu diambil dari fiqh yang menyerupainya dan diberlakukan sesuai dengan metode imam dan mengistinbatkan hukum dan menghubungkannya dengan berbagai qaidah.
Dr. Ya’qub al-Ba Husain mengungkapkan bahwa ilmu bahasa Arab dan ilmu khilaf (perbedaan pendapat/perbandingan mazhab) termasuk sumber ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul. [19] Kenyataannya bersumbernya dari bahasa Arab pada dasarnya kembali hakikatnya yaitu ilmu ushul fiqh, sebab qaidah-qaidah ushul dibangun dari qaidah bahasa Arab. Demikian juga ilmu khilaf dipakai oleh orang yang memakai metode perbandingan mazhab dan menjelaskan perbedaan pendapat diantara mereka dan dasar-dasarnya, hanya saja ia menunjukkan lapangan perdebatan lebih dominan dari pada lapangan takhrij.
Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul bukanlah semata-mata perbedaan pendapat antara fuqaha’ dan penjelasan sebab-sebabnya, sebagiannya menghubungkan antara ilmu takhrij dalam pengertian terdahulu dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan perdebatan, dan menjadikannya satu kesatuan dan saling terkait.



E. Manfaat dan Kegunaan Mempelajarainya

Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul memiliki manfaat sebagai berikut :
  1. Mengenali sumber pendapat ulama dan menelusuri asalnya.
  2. Memberi perhatian terhadap penggalian hukum yang tidak ada pernyataannya dari para ulama. Ilmu ini akan menumbuhkan kemampuan fiqh, melatih pemerhati dalam mengistinbathkan dan mentarjih serta mengklasifikasikan masalah-masalah dan mendasarkan kepada dalil-dalil, dan mengetahui berbagai pendapat ulama dalam berbagai masalah yang tidak ada nashnya, dan hukum-hukum kontemporer yang muncul.
  3. Ilmu ini mengeluarkan ilmu ushul fiqh dari aspek teoritisnya kepada aspek aplikasi praktis, sehingga didapatkan buah (hukum) yang lahir dari qaidah ushuliyah, sehingga ilmu ushul menjadi tambah jelas.
  4. Dengan mengeluarkan ilmu ushul fiqh dari aspek teoritisnya kepada aspek aplikasi praktis, membuktikan adanya hubungan antara fiqh dan ushulnya,
  5. Dalam takhrij yang memperbandingkan antara mazhab-mazhab dan menjelaskan dasar-dasar perbedaan pendapat ulama, menampakkan bahwa ikhtilaf yang terjadi antara ahli-ahli fiqh dalam mengistinbathkan hukum bukanlah lahir dari keinginan hawa nafsu atau berhukum kepada akan semata dan mendahulukanya dari pada syara’, tetapi menjelaskan bahwa perbedaan itu terjadi atas dasar ilmiah, qaidah-qaidah dan metodologi dalam istinbath.
  6. Seiring dengan mengembalikan hukum-hukum fiqh kepada qaidah ushul serta mengetahui bahwa semua perbedaan pendapat kembali kepada sumber dan metode istinbath, seorang pemerhati mengetahui pendapat yang rajih dari yang marjuh dalam qaidah-qaidah ushul, yang sangat membantu mendekatkan antara mazhab-mazhab dan meminimalisir pertentangan antara para pengikutnya. [20]  
F. Penutup
Demikian tulisan ini penulis sajikan kehadapan pembaca, semoga membawa manfaat. Penulis menyadari bahwa dalam penyajiannya masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis membuka hati dan pikiran untuk menerima masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jualah kita berserah diri sembari tetap memohon taufik dan hidayahNya untuk keselamatan hidup kita di dunia dan akhirat. Amin.













[1]Makalah ini disajikan dalam  mata kuliah Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah keahlian bagi mahasiswa S3 Hukum Islam UIN Suska Riau. 
[2] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid II, h. 252-253. Pengertian secara bahasa ini dikutip oleh Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah Ummul Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, 1429 H, h. 286.
[3] Ibid, h. 286-287.
[4] Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, al-Musawwidah, Muhaqqiq : Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Beirut : Dar al-Kutub, tt, h. 533.
[5] Lihat Syekh Wali Allah al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf,  ditahqiq oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, tt, Dar al-Nafa’is, 1406 H, jilid I h. 6.
[6] Lihat Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad, Kairo : Maktabah Ibn Taimiyah, tth, 56. 
[7] Lihat Ibn Farhun al-Maliki, Kasyf al-Naqab al- Hajib fi Mushthalah Ibn al-Hajib, ditahqiq oleh Hamzah Abu Faris dan Abd al-Salam al-Syarif, tt : Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1990, h. 104. 
[8] Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, tt, hal. 42-43.
[9] Muhammad Riyadh, Ushul al-Fatwa wa al-Qadha’ fi al-Mazhab al-Maliki, Maroko : Mathba’ah al-Najah, 1416 H, cet. I, h. 577.
[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damascus : Dar al-Fikri, 1998, h. 16. Lihat juga Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005, h. 2.
[11][11] Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, h. 605.
[12] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, h. 80
[13] Ibid, Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Op. cit, h. 606.
[14] Muhammad Bakar Ismail Habib, Op.cit, 286-288
[15] Syekh Ya’qub al-Ba Husain, al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin, Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1414 H, cet. I, h. 11-12
[16] Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthani, Manhaj Istimbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, Jeddah : Dar al-Andalus al-Hadhra’, 2004, h. 482.
[17][17] Ibid, h. 484-485.
[18] Muhammad Bakar Ismail Habib, Op.cit, h. 295.
[19] Syekh Ya’qub al-Ba Husain, Op.cit, h. 61.
[20] Ibid.

PENERAPAN METODE TAKHRIJ SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENEMUKAN HUKUM MASALAH KONTEMPORER

PENERAPAN METODE TAKHRIJ SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENEMUKAN HUKUM MASALAH KONTEMPORER [1]

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Satu hal yang tak dapat dihindari dalam kehidupan ini adalah munculnya perubahan, baik dalam tataran sosial budaya, ekonomi, politik dan hukum, bahkan tak jarang merembet pada urusan agama. Salah satu fungsi agama adalah memberikan jawaban religius terhadap persoalan yang dihadapi umat agar suasana kebatinan mereka tetap tenteram dan selalu dalam koridor agama. Dengan perlunya Islam menyikapi dan mewaspadai setiap perkembangan dan perubahan, maka perlu pula dirumuskan formulasi yang jelas dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan perubahan tersebut sesuai dengan kemaslahatan yang dicita-citakan Islam. Jika pada masa lalu ulama menjawab berbagai persoalan dengan melahirkan berbagai pemikiran fiqih, pada masa sekarang pola tersebut masih relevan untuk diterapkan. Hanya saja metodenya tidak dengan membuat tatacara ijtihad baru tetapi tetap dengan memakai pola fiqih klasik namun menghasilkan jawaban terhadap masalah baru, yang disebut Fiqh Kontemporer. Fiqih Kontemporer ini diharapkan mampu menjadi model ideal pemecahan masalah yang terjadi di zaman modern ini.
Sebenarnya setiap hasil pemikiran fiqih selalu bersifat kontemporer, karena fiqih tersebut lahir untuk menjawab persoalan yang muncul di zamannya sesuai dengan perubahan yang terjadi waktu itu. Jadi ia menjadi fiqih kontemporer di zamannya. Yang membedakan hanya pada metode ijtihad yang digunakan dan masalah yang dihadapi. Pada masa Rasul, sahabat yang bertugas diluar kota dan jauh Madinah mencari jawaban hukum berdasarkan kepada al-Qur’an, hadis dan ijtihad. [2] Pada masa sahabat, pemecahan problemtika keagamaan mengalami perkembangan yaitu munculnya ijma’ dan qiyas. Pada periode berikutnya, muncul ulama-ulama fiqh dan mujtahid yang melahirkan berbagai metode baru  seperti istihsan, istishlah, istishab, sad aw al-fath al-zariah, qaul shahabi, urf, dan syar’ man  qoblana.
Salah satu bentuk ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dalam menyikapi munculnya masalah kontemporer adalah dengan menerapkan metode takhrij. Pada abad IV H, ketika taqlid sudah meluas dan sangat minim sekali mujtahid yang independen, dimana setiap pengikut mazhab memegang teguh pendapat imam-imamnya dan mengistimbatkan ushul dan qaidah darinya, lalu ulama setiap mazhab menjawab persoalan kontemporer dengan salah satu dari dua metode : pertama; menghubungkan masalah yang terjadi dengan hal yang serupa yang sudah digariskan oleh imam mazhabnya, yang biasa disebut mentakhrij ketentuan imam atau takhrij al-furu’ ala al-furu’. Kedua; menggali hukumnya dari dalil-dalil yang terperinci tetapi disesuaikan dengan qaidah dan ushul imamnya yang biasa disebut takhrij al-furu’ ala al-ushul. [3]
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana aplikasi metode takhrij dalam menangani masalah kontemporer, akan dibahas pada pasal berikut.
B. Defenisi Takhrij
Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij merupakan bentuk mashdar  dari kata خرج – يخرج – تخريج  yang berarti mengeluarkan, memutuskan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua warna. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Taimiyah RA, takhrij adalah : وَأَمَّا التَّخْرِيجُ : فَهُوَ نَقْلُ حُكْمِ مَسْأَلَةٍ إلَى مَا يُشْبِهُهَا ، وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِيهِ ( memindahkan masalah kepada kasus yang menyerupainya atau ada kesaamaan antara keduanya. [4] Defenisi ini juga digunakan oleh al-Mardawi [5] dan Ibn Badran. [6] Ibn Farhun[7] mendefenisikan takhrij dengan إستخراج حكم مسألة من مسألة منصوصة. (mengeluarkan hukum suatu masalah dari suatu masalah yang ada nashnya). Sedangkan menurut al-Syekh Alawi al-Saqaf, أن التخريج ان ينقل فقهاء المذهب  الحكم من نص إمامهم فى صورة إلى صورة مشابهة )fuqaha’ suatu mazhab memindahkan hukum dari pendapat imam mereka dalam satu bentuk kepada bentuk yang serupa.[8] Defenisi lain dikemukakan oleh  Syek Muhammad Riyadh : أن التخريج ان ينظر مجتهد المذهب فى مسألة غير منصوص عليها فيقيسها على مسألة منصوص عليها فى المذهب (Takhrij adalah seorang mujtahid mazhab meneliti masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab). [9]
Dari berbagai defenisi di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ya’qub al-Ba Husain dalam kitabnya al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,[10] memberikan beberapa pengertian, antara lain :
  1. Secara umum, takhrij menyampaikan kepada ushul dan qaidah yang dibangun para imam sebagai landasan sesuatu yang mereka kaitkan kepada hukum-hukum dalam masalah fiqh yang dinukil dari mereka.
  2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan fiqih kepada qaidah ushul.
  3. Kadang-kadang takhrij – sesuai kebiasaan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, bermakna penggalian hukum terbatas (al-istinbath al-muqayyad), artinya menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah juz’iyat yang tidak ada nashnya dengan cara mencari korelasinya dengan sesuatu yang menyerupainya, atau dengan memasukkannya kebawah salah satu qaidah.
  4. Fuqaha’ kadang-kadang memperluas takhrij dengan makna penalaran illat (al-ta’lil), atau mengarahkan pendapat-pendapat yang dinukil dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat dan menyandarkan hukum kepadanya.
Berdasarkan pemakaian istilah takhrij di kalangan fuqaha’ dan ushuliyun, dapat disimpulkan adanya hubungan, sebagai berikut :
  1. Dari aspek ungkapan istilah takhrij terdahulu, takhrij dapat dibagi tiga :
a.      Mentakhrij ushul dari furu. Salah satu macam takhrij adalah menghubungkan kepada ushul dan qaidah para imam secara deduktif dan mengikuti cabang-cabang fiqih yang diterima dari mereka, menyingkapkan illat dan korelasinya.
b.      Mentakhrij furu’ atas ushul
Model takhrij ini menjadi ilmu yang independen. Para fuqaha’ sejak abad IV H telah menyusun banyak karangan yang mengembalikan aneka ragam fiqih kepada ushul yang menjadi landasan pendapat fuqaha’, maka mentakhrij furu’ atas ushul adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat mendorong fuqaha’ mengambil sumber pendapatnya dari hukum-hukum. Masalah yang tercakup dalam masalah ini antara lain :
1). Pembahasannya terkait dengan kondisi dalil dan qaidah yang diperselisihkan, beraneka bentuk, bukan dari aspek hakikatnya tapi dari aspek keabsahannya
c.       Mentakhrij furu’ dari furu’
  1. Pengamat pembagian takhrij mencatat adanya hubungan kesejarahan yang masuk dalam pertumbuhan masing-masing bagian.
  2. Beraneka ragamnya makna takhrij sebagaimana pembagian di atas bukanlah alasan meniadakan defenisi umum yang membatasi cakupan ilmu ini dan menjelaskan materinya.
C. Pembagian Takhrij
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa takhrij dapat dibagi tiga, yaitu mentakhrij ushul dari furu’, mentakhrij furu’ atas ushul dan mentakhrij furu’ dari furu’. Dr. Saad al-Syatari menambahkan macam yang keempat, yaitu mentakhrij ushul atas ushul. [11] Hal ini terjadi karena sebagian kaidah ushul didasarkan kepada kaidah ushul yang lain yang mengikuti dan menjadi cabangnya. Berikut adalah pembagianya :
  1. Mentakhrij ushul dari furu’.
Diantara bentuk takhrij adalah adanya interkoneksi dengan ushul dan kaidah yang berasal dari imam-imam secara induktif dan mengikuti cabang-cabang fiqih yang diriwayatkan dari mereka, mengungkapkan illat-illat dan korelasinya.
Diantara contoh takhrij ini adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu Ya’la al-Farra’ RA dalam kitab al-Uddah yang dipandang sebagai acuan kitab-kitab ushul mazhab Hambali. Imam Abu Ya’la begitu terobsesi (bersemangat) menjelaskan pendapat Imam Ahmad dalam masalah-masalah ushul dengan menggalinya dari riwayat-riwayat yang diterima darinya, lalu mengaitkan pendapat itu kepada imam Ahmad.
Bentuk takhrij ini memiliki beberapa faedah yang dapat dipetik oleh peneliti masalah kontemporer, diantaranya :
    1. Terbukanya ilmu ini terhadap kaidah-kaidah para imam, memungkinkan seorang mujtahid yang mendalami masalah nazilah untuk mentarjih pendapat-pendapat dan memilih yang terkuat berdasarkan kaidah terkuat.
2.      Ilmu ini membantu mengetahui korelasi-korelasi yang terdapat antara cabang-cabang fiqh yang memungkinkan penelitian terhadap penalaran illat, pemahaman yang benar dan mengembalikan furu’ yang diriwayatkan dari para imam kepada ushulnya.
3.      Memungkinkan seorang alim menarik kesimpulan dari mentakhrij masalah-masalah dan cabang-cabang yang tidak ada nashnya dari kejadian dan kasus terbaru sesuai kaidah yang ditakhrij atau mendapatkan penadapat yang lebih utama.
4.      Takhrij ini memperkenalkan kepada mujtahid sumber dan rujukan ulama dalam istimbath dan ushul ijtihadnya yang membantunya dalam memahami sebab-sebab perbedaan pendapat fuqoha’.
  1. Mentakhrij furu’ atas ushul
Takhrij dalam bentuk ini menjadi ilmu yang independen, orisinil dan aplikatif.[12] Sebagian fuqoha’ sejak abad IV H telah menyusun banyak kitab yang mengembalikan berbagai perbedaan pendapat fiqh kepada ushul yang menjadi dasar pendapat para imam, maka membangun furu’ diatas ushul disini adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat yang menyebabkan fuqoha’ mengambil hukum dari pendapat mereka.
Imam al-Zanjani berkata :” Jelaslah bagi anda bahwa furu’ bersumber dari ushul, dan orang yang tidak memahami proses istimbath serta tidak mengetahui bentuk pertalian antara hukum furu’ dan dalilnya yaitu ushul fiqh, ia tidak memiliki peluang dan tidak mungkin menemukan cabangnya kapanpun, sebab masalah-masalah furu berdasarkan kelapangannya dan setelah sampai kepadanya ushul yang diketahui dan kejadian yang sistematis, siapa yang tidak mengetahui ushul dan kejadiannya maka ia tidak akan mendapatkan ilmunya.
Dr. Ya’kub al-Ba Husain mendefenisikan takhrij macam ini sebagai :” ilmu yang menjelaskan tentang illat dan sumber hukum syara’ untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan sebab-sebab khilaf atau untuk menjelaskan hukum yang tidak ada nash (pernyataannya) dari para imam dengan memasukkannya kedalam kaidah dan ushul mereka”. Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan  mendefenisikannya sebagai :” Ilmu yang memperkenalkan pemakaian kaidah ushul dalam mengistimbathkan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalil yang terperinci.”
Ilmu takhrij furu’ diatas ushul mencakup sebagian penelitian dan masalah-masalah yang tidak keluar dari hakikat ilmu fiqih dan ushul dan bentuk korelasi antara keduanya, maka diantara masalah yang tercakup dalam ilmu ini antara lain :
a.       Pembahasan yang terkait dengan keadaan dalil yang kaidah yang berbeda-beda, bukan dari aspek hakikatnya tapi dari aspek kesahihannya dan kepastian tetapnya hukum syara’ dengannya serta tetapnya hukum ini dengannya.
b.      Pembahasan yang terkait dengan proses mentakhrij hukum dari dalilnya seperti dalalah lafaz dan yang dibahas hanyalah perbedaan pendapat di kalangan imam-imam pengikut mazhab.
c.       Sebab-sebab perbedaan pendapat fuqoha’
d.      Pembahasan yang terkait dengan faqih yang mentakhrij hukum menurut kaidah para imam dan syarat-syarat yang wajib diaplikasikan.
e.       Pembahasan hukum dan furu’ fiqih dari aspek pengungkapan relevansi antara keduanya dan mengembalikannya kepada ushul imam atau ushul orang yang mentakhrij yang dinisbahkan kepada imam.
Faedah yang dapat dipetik oleh peneliti dalam masalah kontemporer dari seputar takhrij furu’ atas ushul ini antara lain :
1.       Ilmu ini menumbuhkan penguasaan fiqih dan melatih pelajar dalam mengistimbatkan, mentarjih dan mengembangkan masalah-masalah serta mendasarkannya kepada dalil.
2.       Ilmu ini memungkinkan seorang faqih memahami secara mendalam apa yang di pelajarinya dan ditelitinya dalam kitab fiqih,
3.       Ilmu ini mengeluarkan ilmu ushul dari sisi teoritisnya kepada lapangan aplikatif praktis yang kami sebut sebagai buah yang muncul dari kaidah-kaidah ushul bahkan juga kaidah-kaidah fiqih.
4.       Ilmu ini menunjukkan kepada peneliti masalah kontemporer orientasi syara’ karena berbedanya kasus yang dihadapi para fuqoha’ yang mereka istimbathkan dari hukum-hukum fiqih dan semua perbedaan pendapat ini dikembalikan kepada dasar ilmiah dan metode istimbath pendapat yang berbeda yang yang diakui.
5.       Diantara faedah takhrij adalah menguatkan pendapat mujtahid masalah kontemporer dan takhrijnya terhadap persoalan yang baru berdasarkan ushul mazhab yang membawa kepada keberlanjutan dan kekekalannya.
  1. Mentakhrij Furu’ atas Furu’
 Sehubungan hal-hal yang dinukilkan dari para imam mujtahid berupa cabang- cabang fiqh, ijtihad dan fatwa yang menyangkut hukum-hukum peristiwa yang tidak mampu mengcover semua kebutuhan manusia sepanjang zaman dan tidak mampu menjawab berbagai problematika mereka disebabkan berkembangnya berbagai bentuk muamalah, bisnis dan problematika kontemporer yang tidak ada pada masanya, pengikut mazhab berusaha keras menggali pendapat imam mereka dalam masalah hukum persoalan kontemporer dan kasus-kasus terbaru berdasarkan hal-hal yang menyerupainya atau memiliki kesamaan illat hukum dari berbagai cabang yang dinyatakan langsung oleh para imam dan tertulis jelas dalam kitab fiqh mereka.
Dr. Ya’qub al-Ba Husain mendefenisikan takhrij model ini dengan istilah :
Ilmu yang menyampaikan kepada pengetahuan terhadap pendapat para imam dalam masalah- masalah furu’yang tidak ada nash (pernyataan jelas) dari mereka dengan cara mengkorelasikannya dengan hukum yang menyerupainya ketika keduanya memiliki illat hukum yang sama atau memasukkannya dalam keumuman pernyataan atau pemahaman keduanya, atau mengambilnya dari perbuatannya atau taqrirnya...”
Mungkin juga memberikan defenisi lain dari takhrij ini, yaitu : “ Ilmu yang dengannya diketahui pendapat para imam mazhab dalam masalah-masalah terbaru yang terjadi dengan memperluas hukumnya terhadap hal-hal yang menyerupainya dari berbagai cabang fiqih mereka yang sudah ditaqrir.”
D. Kaidah-Kaidah Takhrij
1. Tidak boleh mentakhrij hukum berdasarkan pendapat para imam ketika ada nash syar’i dari al-Qur’an dan sunnah.
Ini adalah kaidah yang penting dalam mentakhrij nash-nash mazhab sebab takhrij tidak boleh kecuali setelah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum tersebut dalam nash-nash syara’ baik al-Qur’an maupun hadis nabi, juga merujuk kepada ijma’ ulama...
Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi : “Siapa yang ingin mentakhrij maka ia tidak boleh menyalahi sunnah atau mengeluarkan pendapat pada masalah yang ada hadisnya...juga tidak boleh menolak hadis atau atsar yang sesuai dengan pendapat suatu kaum karena adanya kaidah yang dia takhrih bersama pengikutnya.”[13]
2.  Seorang pentakhrij menguasai secara sempurna kaidah-kaidah dan furu’ mazhabnya.
Tidak sah takhrij yang dilakukan oleh faqih yang tidak mengetahui kaidah-kaidah dan furu’ suatu mazhab. Berkata Ibn Shalah : ”Mujtahid dalam mazhab al-Syafi’i  misalnya,artinya mujtahid takhrij, harus menguasai kaidah-kaidah mazhabnya yang dipakai dalam praktek qiyas dan dan tatacara penerapannya.”
Imam al-Qarafi berkata : “Seorang mufti tidak boleh mntakhrij suatu pendapat yang tidak ada nashnya dari  pendapat yang ada nashnya melainkan bila ia sudah sangat menguasai kaidah-kaidah mazhabnya dan kaidah ijma’....”
3. Seorang pentakhrij harus mengetahui ushul fiqh secara umum dan qiyas khususnya.
Kaidah ini mendorong Imam al-Qarafi melarang pentakhrij berfatwa bila ia tidak mengetahui ushul fiqh. Ia berkata : “Siapa yang tidak mengetahui ushul fiqh maka ia terlarang berfatwa, karena ia tidak mengetahui kaidah-kaidah furuq, takhshis, taqyid menurut perbedaan bentuk-bentuknya...”. Ia juga berkata :”Jelas sekali bagi orang tidak menguasai ushul fiqh agar tidak mentakhrij furu’ atau kejadian dari ushul mazhabnya dan berbagai hal yang dinukilkan darinya sekalipun banyak hapalannya terhadap nash-nash syariah dari kitab dan sunnah serta keputusan sahabat, begitu juga orang yang tidak mengetahui ushul fiqh, haram atasnya mengqiyas dan mentakhrij dari masalah yang ada nashnya, bahkan haram atasnya menggali hukum dari nash-nash syariah karena menggali furu’ perlu mengetahui ushul fiqh, dalam hal mujtahid dan muqallid sama-sama terlarang mentakhrij.
  1. Mukharrij memiliki kemampuan mengetahui sumber dan relevansi furu’ dengan ushul mazhabnya.
Kaidah ini penting sekali dalam pembolehan takhrij terhadap pendapat mazhab sebagaimana perkataan al-Amidi : “Pendapat terpilih adalah bahwa bila seorang itu mujtahid dalam mazhabnya, dimana ia memunculkan sumber pendapat mujtahid mutlak yang diikutinya...ia boleh berfatwa sebagai keistimewaan baginya dari orang awam.
  1. Mukharrij menguasai faktor-faktor eksternal terhadap hukum dan furuk-furuk fiqh diantara cabang-cabang.
Ini kaidah penting juga dalam praktek takhrij, dimana seorang pentakhrij mewaspadai adanya faktor-faktor yang merusak keabsahan takhrij atau yang datang kepada suatu hukum dalam bentuk nasakh, takhshis, dan taqyid, atau menafikan tujuan takhrij dan menyempurnakan pengetahuan faktor-faktor tersebut dengan merujuk pembahasan ushul fiqh.
Seorang peneliti juga seharusnya mengetahui perbedaan (furuq) diantara furu’ yang terjadi dan furu’ yang hendak ditakhrij, baik perbedaan (furuq) itu menjelaskan perbedaan (ikhtilaf) rentetan hukum-hukum atau menurut tingkatan maqashid yang kembali kepadanya. Ibn Taimiyah berkata : “Syarat takhrij adalah tidak boleh ada pembeda antara dua masalah.”
  1. Takhrij dilakukan terhadap pendapat para imam mazhab dari sumbernya yang diakui di kalangan ulama.
Ada beberapa sumber pendapat imam-imam mazhab antara lain :
    1. Nash imam dan yang menyamainya, untuk mengetahuinya ada dua cara :
1). Dari kitab karangan yang dinisbahkan kepada mereka dan diriwayatkan dari mereka secara shahih, seperti al-Muwattho’ karya Imam Malik dan al-Umm karya Imam al-Syafii, dll
2). Kutipan pendapat mereka oleh para pengikutnya dalam berbagai masalah yang berbeda.
b. Pemahaman nash imam, yaitu mentakhrij berdasarkan pemahaman perkataannya dalam dilalah lafaz yang wadh’i atau iltizami.
c. Perbuatan para imam, yaitu sesuatu yang diperbuat atau ditinggalkan oleh para imam yang mempaedahkan boleh atau tidaknya.
d. Taqrir imam, yaitu tidak adanya pengingkaran mujtahid terhadap apa yang diperbuat dihadapannya atau fatwa yang bersumber dari orang lain tentang berbagai masalah.
e. Hadis yang shahih,    
E. Mengetahui Hukum Nazilah Dengan Metode Takhrij
Bila seorang faqih berijtihad dengan metode takhrij terhadap pendapat para imam mazhab dan menggeluti ijtihad model ini maka dia dianggap mampu menggali hukum secara serius dalam masalah kontemporer, dia akan menjadi sangat mengetahui perkataan dan pendapat yang terkuat, maka didahulukan hasil penelitiannya yang terkuat untuk dimasukkan dalam sumber dan dalilnya, sehingga mudah baginya untuk berfatwa dan juga mudah metodenya sekalipun belum sampai derajat ijtihad independen. Imam Ibn Shalah berkata :”Seorang mukharrij boleh berfatwa dalam masalah yang tidak didapatinya dalam hukum yang terjadi yang ada nash dari imamnya sesuai takhrijnya menurut mazhabnya, inilah yang benar dan wajib diamalkan...”
Metode yang dapat memperkenalkan peneliti kepada hukum peristiwa baru dengan menggunakan metode takhrij, antara lain :
1. Takhrij dengan metode qiyas. Jumhur fuqaha’ menganggap qiyas sebagai metode yang penting yang menyampaikan kepada pengetahuan  hukum syara’ yang tidak ada nashnya. Hukum takhrij kadang-kadang berbeda-beda ditinjau berdasarkan perbedaan bentuk qiyas kepada tiga macam, yaitu :
a. Sesuatu yang diangap qath’i dengan menafikan pembeda. Jumhur ushuli dan fuqaha’ berpendapat bahwa apabila telah dianggap qath’i dengan menafikan yang berbeda diantara masalah yang tidak ada nashnya dari imam dan bandingannya dari masalah-masalah yang diketahui pendapatnya, boleh menisbahkan hukumnya kepadanya dengan menyatakan itulah mazhabnya.
b.  Sesuatu yang illatnya ada dinyatakan secara tegas. Jumhur ushuli membolehkan mentakhrij sesuatu yang sudah dinyatakan illatnya dengan tegas oleh imam atau mengisyaratkan kepadanya. Pendapat ini dipilih oleh al-Hasan bin Hamid dan Abu al-Husain al-Basri, Abu al-Khattab, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah.
c. Sesuatu yang sudah diketahui illatnya dengan jalan istimbath. Mentakhrij mazhab imam dengan metode qiyas yang digali dengan illat sangat banyak kaitannya dengan hal-hal terdahulu. Ulama berbeda pendapat dalam membolehkannya, dan keabsahan menisbahkan pendapat mukhorrij  kepada imam, ada dua pendapat, yaitu :
1). Tidak boleh menisbahkan suatu pendapat kepada imam melalui metode qiyas yang diistimbathkan dengan illat, ini menurut sebagian fuqaha’ dan ushuli seperti Abu Bakar al-Khilal, Abu Bakar Abdul Aziz al-Baghawi dan sebagian ulama Hanabilah. Ini menjadi pendapat paling tegas dari Abu al-Husain al-Basri, Ibn Ishaq al-Syirazi, dll.
2).  Yang diqiyaskan terhadap perkataan imam adalah pendapatnya dan sah menisbahkan kepadanya. Hal ini sudah dinisbahkan oleh Ya’qub al-Ba Husain kepada Jumhur Ulama, dan menjadi pilihan pendapat Abu Bakar al-Atsram, dan al-Khurqi serta condong kepadanya Imam al-Juwaini dan Ibn Shalah, dll

CONTOH SEBAGIAN TAKHRIJ FIQH TERHADAP
SEBAGIAN KASUS-KASUS KONTEMPORER
1. Pengamanan/Asuransi Perdagangan
Ini merupakan bentuk transaksi yang baru yang belum ada sebelum abad 14 M, sebab hal ini tidak terdapat dalam fiqih Islam kecuali ada pendapat Ibn Abidin tentang pengamanan laut (asuransi pelayaran) dan keharaman asuransi.
Ahli fiqih kontemporer berbeda dalam menetapkan hukumnya, karena berbeda dasar takhrij mereka dan tatacara penanganan masalah baru ini, diantara mereka ada yang mengharamkan asuransi berdasarkan kepada takhrij mereka yang mengqiyaskannya kepada perjudian, atau hal ini termasuk transaksi gharar sebab berupa akad spekulatif. Diantara mereka ada pula yang membolehkan pengamanan dengan mentakhrijnya kepada model tabarru’ (kebajikan) dan bukan jual beli, atau mentakhrijnya dengan qiyas kepada aqad perwalian dan membebankan diat kepada orang berakal.
2. Hak Kekayaan Intelektual (Karya ilmiah, penerbitan dan distribusi/penjualan)
Hak-hak ini belum pernah ada hukumnya dikalangan fuqoha’ awal, dan fuqoha’ kontemporer berbeda pendapat karena berdasarkan perbedaan mereka dalam takhrijnya dan proses penemuan hukumnya. Diantara mereka ada yang menetapkan adanya hak ini diqiyaskan kepada industrialisasi, sebab kitab itu disusun dan diproduksi, diantara mereka ada yang mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada pendapat dalam fiqih Hanafi tentang (Nuzul an Wazha’if bi Mal). Diantara mereka ada pula yang tidak menetapkan hak ini dengan mentakhrijnya kepada kemaslahatan menyebarkan pemikiran Islam dan melepaskannya dari seluruh pembatasan-pembatasan.
3. Masalah Implasi
Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam problematika kontemporer ini, atas dasar apa dikembalikan harga modal ketika implasi. Sebagian fuqoha’ mentakhrij jawaban ahli fiqh Qordova ketiak ditanya tentang orang yang mewasiatkan mata uang kepada seorang laki-laki, lalu mata uang itu berbeda dengan mata uang lain, mereka menjawabnya dengan mewajibkan wasiat pada mata uang yang berlaku pada hari wafatnya pewasiat, bukan pada hari ia berwasiat.
Sebagian fuqaha’ mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada cuaca, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Taimiyah : “Bila manfaat berkurang maka berkurang pula sewanya sesuai kekurangan manfaat. Imam Ahmad dan ulama lain telah menyatakan hal ini, ketika ditanya orang : Berapa sewa tanah yang airnya lancar ? Dijawab : Seribu dirham. Ditanya lagi : berapa sewanya disaat curah hujan berkurang? Dijawab : Lima ratus dirham, maka dibayarlah tanah sewa itu separoh harga yang disebutkan sebab hilang sebagian manfaatnya yang didapat dengan    aqad. [14]  






MAKALAH KULIAH S3
منهج الإجتهاد المعاصرة
METODE IJTIHAD KONTEMPORER

TOPIK ;
PENERAPAN METODE TAKHRIJ SEBAGAI SALAH SATU
UPAYA MENEMUKAN HUKUM MASALAH KONTEMPORER


DISUSUN
O
L
E
H

H A S W I R
NIM : 10 S3 031

DOSEN PEMBIMBING :
DR. H. MAWARDI MUHAMMAD SHALEH, MA


PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2010



[1] Makalah ini dipresentasikan dalam seminar mata kuliah Metodologi Ijtihad Fiqh Kontemporer pada PPs UIN Suska Riau S3 Prodi Hukum Islam.
[2] Metode ini tergambar dalam jawaban Muaz ibn Jabal atas pertanyaan Rasul yang menanyakan bagaimana cara Muaz menangani masalah yang muncul diwilayah tugasnya.
[3] Musfir ibn Ali ibn Muhammad al-Qahthani, Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, Jeddah : Dar al-Andalus al-Khudhoro’, 2003, h. 470.
[4] Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, al-Musawwidah, Muhaqqiq : Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Beirut : Dar al-Kutub, tt, h. 533.
[5] Lihat Syekh Wali Allah al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf,  ditahqiq oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, tt, Dar al-Nafa’is, 1406 H, jilid I h. 6.
[6] Lihat Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad, Kairo : Maktabah Ibn Taimiyah, tth, 56. 
[7] Lihat Ibn Farhun al-Maliki, Kasyf al-Naqab al- Hajib fi Mushthalah Ibn al-Hajib, ditahqiq oleh Hamzah Abu Faris dan Abd al-Salam al-Syarif, tt : Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1990, h. 104. 
[8] Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, tt, hal. 42-43.
[9] Muhammad Riyadh, Ushul al-Fatwa wa al-Qadha’ fi al-Mazhab al-Maliki, Maroko : Mathba’ah al-Najah, 1416 H, cet. I, h. 577.
[10] Syekh Ya’qub al-Ba Husain, al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin, Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1414 H, cet. I, h. 11-12
[11] Lihat Sa’ad al-Syatari, al-Takhrij baina al-Ushul wa al-Furu’, h. 144-145
[12] Syekh Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan telah mengarang sebuah kitab sistematis untuk memunculkan ilmu ini, yang dia beri nama “Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul”, sebuah abstarksi risalah lengkap yang diajukannya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad ibn Saud, untuk mendapatkan gelar magister tahun 1415 H.
[13] Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbabi al-Ikhtilaf, h. 62-63.
[14] Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 30, h. 257.