Selasa, 03 Mei 2011

Takhrij al-Furu' ala al-Ushul


تخريج الفروع على الأصول
(SEBUAH KAJIAN PENDAHULUAN)
Disusun
O
l
e
h

H A S W I R
NIM : 10 S3 031


DOSEN PEMBIMBING :
DR. H. MAWARDI MUHAMMAD SHALEH, MA



PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2011

TAKHRIJ AL-FURU’ ALA AL-USHUL
Oleh : Haswir[1]

A. Pendahuluan’
Perkembangan sosial masyarakat Islam demikian pesat sehingga menuntut para ulama untuk senantiasa cerdas dan bijak dalam menilai situasi dan kondisi umat. Salah satu aspek yang selalu aktual di kalangan umat dan ulama Islam adalah masalah hukum fiqh, karena fiqh diharapkan mampu mengikuti dinamika masyarakat Islam yang semakin kompleks. Pencarian hukum untuk menghadapi berbagai persoalan yang muncul dalam masyarakat sebenarnya telah dimulai sejak masa sahabat. Tradisi sahabat melahirkan pemikiran fiqih ini kemudian diikuti oleh generasi sesudahnya yang dikenal dengan masa Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in, masa ijtihad imam-imam mazhab, masa kecemerlangan fiqh dan periode taqlid, serta era kebangkitan kembali dari taqlid.
Salah satu kegiatan ilmiah di biang fiqh dan ushul fiqh adalah mengembalikan berbagai pendapat ulama fiqh kepada ushul yang telah dirumuskan oleh para imam mazhabnya, serta menjelaskan sebab-sebab perbedaan pendapat dan dasar pijakan pendapatnya, dan yang tak kalah penting adalah menjadikan ushul fiqh tidak hanya sekedar konsep teoritis tetapi mampu menjadi ilmu terapan yang praktis. Tulisan ini mencoba mengungkap upaya mengembalikan setiap pendapat fiqh kepada ushulnya, dengan tujuan agar dapat diketahui bagaimana suatu pendapat muncul dan dasar pemikiran perumusannya. Memang penulis akui bahwa dalam tulisan ini masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis sangat berharap kiranya pembaca yang budiman berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan tulisan ini.      
B. Pengertian Takhrij, Furu’ dan Ushul
Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij merupakan bentuk mashdar  dari kata خرج – يخرج – تخريج  yang berarti mengeluarkan, mengeluarkan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua warna. Takhrij sebagai mashdar dari kharraja menunjukkan bentuk fi’il muta’addi, yang keluar itu bukanlah substansinya tetapi faktor eksternal, contohnya mengeluarkan sesuatu dan memintanya keluar berarti menggalinya dan menuntutnya keluar. Dalam Lisan al-Arab karya Ibn Manzhur, takhrij memiliki berbagai makna, seperti :  [2]
التخريج:
تخريج الراعية المرتع: أن تأكل بعضه وتترك بعضه. وخرجت الإبل المرعى: أبقت بعضه وأكلت بعضه.وعام فيه تخريج: أي خصب وجدب، وكذلك أرض خرجاء وفيها تخريج وعام فيه تخريج: إذا أنبت بعض المواضع ولم ينبت بعض. وتخريج الأرض: أن يكون نبتها في مكان دون مكان. وخرج الغلام لوحه تخريجًا: إذا كتبه فترك فيه مواضع لم يكتبها

Menurut istilah, sebagaimana diuraikan oleh Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah Ummul Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, takhrij memiliki berbagai pengertian sesuai dengan bidang ilmu orang merumuskannya. Pertama menurut ulama hadis, takhrij adalah mengembalikan hadis Nabawi kepada musnadnya atau kitab-kitab yang memuatnya. Kedua, memfokuskan pembicaraan dan menghilangkan prasangka yang menentangnya. Ketiga, menganalogikan suatu masalah kepada kasus yang menyerupainya, setelah memahami makna yang menjadi alasan adanya hukum pada masalah pertama. Keempat, menggali ushul dari furu’. Kelima, membangun furu’ dari ushul, baik furu’ itu yang sudah difatwakan oleh para imam atau belum. Pengertian inilah yang dipakai dalam pembahasan ini. [3]  
Menurut Ibn Taimiyah, takhrij adalah : وَأَمَّا التَّخْرِيجُ : فَهُوَ نَقْلُ حُكْمِ مَسْأَلَةٍ إلَى مَا يُشْبِهُهَا ، وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِيهِ ( memindahkan hukum suatu masalah kepada kasus yang menyerupainya atau ada kesaamaan antara keduanya. [4] Defenisi ini juga digunakan oleh al-Mardawi [5] dan Ibn Badran. [6] Ibn Farhun[7] mendefenisikan takhrij dengan إستخراج حكم مسألة من مسألة منصوصة. (mengeluarkan hukum suatu masalah dari suatu masalah yang ada nashnya). Sedangkan menurut al-Syekh Alawi al-Saqaf, أن التخريج ان ينقل فقهاء المذهب  الحكم من نص إمامهم فى صورة إلى صورة مشابهة (takhrij adalah fuqaha’ suatu mazhab menukilkan hukum dari pendapat imam mereka dalam satu bentuk kepada bentuk yang serupa.[8] Defenisi lain dikemukakan oleh  Syek Muhammad Riyadh : أن التخريج ان ينظر مجتهد المذهب فى مسألة غير منصوص عليها فيقيسها على مسألة منصوص عليها فى المذهب (Takhrij adalah seorang mujtahid mazhab meneliti masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab). [9]
Kata Ushul merupakan bentuk jama’  dari kata Ashal, secara bahasa berarti landasan tempat membangun sesuatu, baik bangunan itu kongkrit atau abstrak. Menurut istilah, ushul memiliki beberapa makna, antara lain : (1) bermakna dalil seperti dalam contoh : سنةالأصل فى وجوب الصلاة الكتاب وال “dalil wajib sholat adalah Alqur’an dan sunnah”, (2)  bermakna kaidah umum yaitu  satu ketentuan yang bersifat umum yang berlaku pada seluruh cakupannya, seperti dalam contoh : بني الإسلام على خمسة أصول “Islam dibangun diatas lima kaidah umum”, (3) bermakna al-rajih ( yang lebih kuat dari beberapa kemungkinan) seperti dalam contoh : الأصل فى الكلام الحقيقة  “pengertian yang lebih kuat dari suatu perkataan adalah pengertian hakikatnya”,(4) bermakna asal tempat menganologikan sesuatu yang merupakan salah satu dari rukun qiyas. Misalnya khamar merupakan asal ‘ (tempat mnegiyaskan) narkotika, dan (5) bermakna sesuatu yang diyakini bilamana terjadi keraguan dalam satu masalah, misalnya, seseorang yang menyakini bahwa ia telah berwudhu, kemudian ia ragu apakah wudhu’nya sudah batal, maka dalam hal ini ketetapan fiqh mengatakan : الأصل الطهارة “yang diyakiki adalah keadaan ia dalam keadaan berwudhu”. Artinya, dalam hal tersebut yang dipegang adalah sesuatu yang diyakini itu. [10] Menurut ulama fiqih, ashal adalah tempat hukum yang ditetapkan dengan nash atau ijma’, dan menurut Mutakallimin, ashal itu adalah nash yang menunjukkan hukum, karena ashal itu yang menjadi landasan pembangunan hukum. [11] Dalam istilah qiyas, ashal adalah sesuatu yang ada nash hukumnya. [12]
Kata furu’ merupakan bentuk jama’ dari far’un yang berasal dari kata fara’a, farra’a dan tafarra’a yang berarti cabang atau bercabang. Far’u atau furu’ menurut ulama ushul adalah sesuatu yang tidak ada nash hukumnya. [13] Furu’ selalu dipakai untuk menggambarkan permasalahan sosial yang senantiasa berkembang sehingga tidak lagi terjangkau oleh nash, dan untuk mendapatkan hukumnya mesti melalui proses qiyas.
 Para ulama terdahulu tidak memberikan defenisi terhadap cabang ilmu ini. Defenisi baru diberikan oleh ulama generasi berikutnya, khususnya para pentahqiq dalam bidang ilmu ini. Berbagai komentar ulama seputar masalah ini antara lain :
  1. Prof. Muhammad Ali Farkus dalam muqaddimah dan tahqiq kitab Miftah al-Wushul ila Bina’ al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Tilimsani mengatakan :”Telah berlaku hikmah tasyri’, yaitu bertambah lapangnya umat dengan terbukanya pintu penggalian hukum-hukum dari nash-nash syariah dalam berbagai masalah dan kasus-kasus terbaru, tersingkap pula hubungan yang kuat antara kaidah ushuliah dan furu’ fiqhiah. Hubungan inilah yang dikenal dengan takhrij al-furu’ ala al-ushul.
  2. Dr. Muhammad Hasan Hito, dalam penjelasan ilmu ini setelah menjelaskan kemuliaan ilmu ushul fiqh dan istinbath hukum-hukum syara’ tergantung padanya, mengatakan : para pelopor ilmu-ilmu syariah biasa mendefenisikan seputar hubungan antara qaidah-qaidah ijmali dan cabang-cabang fiqh ini dan seputar pengaruhnya terhadap perbedaan dalam-dalil ijmali. Jadi ilmu ini menjadi gambaran pengetahuan tentang hubungan antara qaidah-qaidah ushul ijmali dan cabang-cabang fiqh.
  3. Dr. Ya’qub al-Ba Husain mendefenisikannya sebagai ilmu yang membahas tentang illat-illat atau sumber hukum syariat untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan bagi sebab-sebab perbedaan pendapat atau untuk enjelaskan huku kasus yang tidak ada nashnya dari para imam dengan emasukkannya kedalam qaidah-qaidah dan ushul mereka.
  4. Prof. Dr. Muhammad Ibrahim al-Hafnawi mendefenisikan dengan : Penggalian hukum-hukum kasus terbaru yang belum dikenal adanya pendapat imam-imam mazhab dalam masalah tersebut. [14]   
Dari berbagai defenisi di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ya’qub al-Ba Husain dalam kitabnya al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,[15] memberikan beberapa pengertian, antara lain :
  1. Secara umum, takhrij menyampaikan kepada ushul dan qaidah yang dibangun para imam sebagai landasan sesuatu yang mereka kaitkan kepada hukum-hukum dalam masalah fiqh yang dinukil dari mereka.
  2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan pemikiran fiqih kepada qaidah ushul, menurut cara yang ditempuh kitab Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Zanjani dan kitab al-Tamhid fi Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul karya al-Asnawi, atau kitab al-Qawa’id wa al-Fawa’id al-Ushuliyah wa al-Fiqhiyah karya Ibn Lahham.
  3. Kadang-kadang takhrij – sesuai kebiasaan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, bermakna penggalian hukum terbatas (al-istinbath al-muqayyad), artinya menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah juz’iyat yang tidak ada nashnya dengan cara mencari relevansinya dengan sesuatu yang menyerupainya, atau dengan memasukkannya kebawah salah satu qaidah. Takhrij menurut makna ini adalah apa-apa yang diperbincangkan oleh fuqoha’ dan ushuli dalam pembahasan ijtihad dan taqlid dan dalam kitab-kitab yang terkait dengan hukum-hukum fatwa, dan inilah yang disebut Takhrij al-Furu ala al-Furu’.
  4. Fuqaha’ kadang-kadang memperluas takhrij dengan makna penalaran illat (al-ta’lil), atau mengarahkan pendapat-pendapat yang dinukil dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat dan menyandarkan hukum kepadanya.
C. Hubungan Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul dengan ilmu-ilmu yang lain : Ushul Fiqh, Fiqh, Qawaid Fiqhiyah, al-Asybah wa al-Nazhair
Berdasarkan pemakaian istilah takhrij di kalangan fuqaha’ dan ushuliyun, menurut Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthani, ditemukan adanya hubungan dengan berbagai cabang ilmu lain, sebagai berikut :
1.      Salah satu macam takhrij adalah menghubungkan kepada ushul dan qaidah para imam secara deduktif dan mengikuti cabang-cabang fiqih yang diterima dari mereka, menyingkapkan illat dan korelasinya, dan kami berpandangan bahwa inilah yang disebut Takhrij al-Ushul ala al-Furu’. Pada hakikatnya, takhrij dengan makna tersebut bukanlah ilmu yang terbatas, tetapi buahnya adalah Ushul Fiqh dan  qaidah-qaidahnya yang umum, tetapi ia bukan ilmu ushul itu sendiri sebab buahnya berada di luar hakikat dan materinya. Defenisi lain yang dapat kami berikan adalah bahwa “takhrij itu adalah ilmu yang menyingkapkan ushul dan qaidah-qaidah para imam dari berbagai cabang fiqih dan penalaran illatnya terhadap berbagai hukum. Sebagai contoh, adalah apa yang dilakukan oleh Imam Abu Ya’la al-Farra’ dalam kitabnya al-Uddah yang dipandang sebagai kitab Ushul dalam mazhab Hanbali. Imam Abu Ya’la begitu sangat bersemangat menjelaskan pendapat-pendapat imam Ahmad dalam berbagai masalah ushul dengan menggalinya dari berbagai riwayat lalu menisbahkannya kepada imam Ahmad, menjelaskan penisbatan itu apakah dengan metode al-nash, al-isyarah atau al-ima’... [16]
2.      Mentakhrij furu’ dari ushul. Model takhrij ini menjadi ilmu yang independen dan aplikatif. Para fuqaha’ sejak abad IV H telah menyusun banyak karangan yang mengembalikan aneka ragam fiqih kepada ushul yang menjadi landasan pendapat fuqaha’, maka mentakhrij furu’ dari ushul adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat yang mendorong fuqaha’ mengambil hukum-hukum bersumber dari pendapat mereka. Imam al-Zanjani mengatakan :” Jelaslah bagi anda bahwa furu’ dibangun dari ushul, dan orang yang tidak memahami cara istimbath dan tidak mengetahui bentuk hubungan antara hukum-hukum furu dan dalil-dalilnya yaitu ushul fiqh, maka ia tidak akan melihat keluasan lapangan kajian ini, dan tidak memungkinkannya mendapatkan furu’ dari asal kapanpun, sebab masalah-masalah furu’ itu berdasarkan keluasan dan kelapangannya dan setelah sampainya ia kepada ushul yang diketahui, siapa yang tidak mengetahui ushul dan kasus-kasus (audho’)nya berarti ia tidak mendapatkan ilmunya. [17] Imam al-Asnawi menjelaskan maksud kasus-kasus (audho’) itu, katanya : “Peneliti mengetahui sumber pendapat yang telah ditetapkan oleh pengikut mazhab kami, yang mereka jadikan sebagai ashal, yang mereka perbagus dan mereka perinci...”
3.      Pengamat pembagian takhrij mencatat adanya hubungan kesejarahan yang masuk dalam pertumbuhan masing-masing bagian.
4.      As-Suyuthi berkata : Ketahuilah bahwa fan (cabang ilmu) al-Asybah wa al-Nazha’ir merupakan cabang ilmu yang besar, darinya muncul dan ditemukan hakikat fiqih, sumber-sumber dan rahasia-rahasianya, mempermahir memahami dan mengemukakannya, menambah kemampuan untuk menghubungkan dan mentakhrij, mengetahui hukum-hukum masalah yang tidak ketentuannya, demikian juga kasus-kasus dan perkara-perkara yang belum diputuskan sepanjang zaman. Karena itu, sebagian pengikut mazhab kami berkata : Fiqh itu mengenal berbagai persamaan. Ini bersumber dari perkataan Umar ibn al-Khattab : Fahamilah, fahamilah hal-hal yang meragukan dalam hatimu yang belum sampai ketentuannya kepadamu dalam kitab dan sunnah, kenalilah hal-hal yang serupa (al-amtsal) dan yang mirip-mirip        (al-asybah), kemudian qiyaskanlah berbagai persoalan yang engkau hadapi lalu pegang teguhlah putusan yang paling dicintai Allah dan paling mirip dengan kebenaran sesuai pendapatmu..., kata Umar :” pegang teguhlah putusan yang paling dicintai Allah dan paling mirip dengan kebenaran sesuai pendapatmu...mengisyaratkan bahwa dari hal-hal yang terlihat sama (nazha’ir) ada pula yang bertentangan dalam hukum karena ditemukan kekhususannya, dan inilah yang disebut al-Furuq, yang disebutkan didalamnya perbedaan antara hal-hal berbentuk sama, yaitu satu rupa dan makna namun berbeda hukum dan illatnya...” Berdasarkan ungkapan tersebut, jelaslah hubungan antara ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul dan al-Asybah wa al-Nazha’ir  yaitu satu dalam makna, baik dalam bentuk hubungan furu’ yang banyak dengan satu qaidah atau hubungan furu dengan masalah-masalah yang baru. Dari perkataan al-Suyuthi ini terungkap bahwa ilmu takhrij merupakan buah dari ilmu al-Asbah wa al- Nazha’ir. [18]
D. Topik-Topik Pembahasan Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul
1. Qaidah-qaidah ushuliyah dari aspek pembinaan furu’ fiqih padanya
2. Furu’ fiqhiyah dari aspek pembinaannya di atas qaidah-qaidah fiqhiyah
E. Sumber-Sumber Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul
Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul merupakan ilmu yang menggabungkan dua ilmu, yaitu ushul fiqh dan fiqh, maka sumber ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul  adalah gabungan keduanya. Ilmu ini mengambil sumber qaidah-qaidah ushul dari ilmu ushul fiqh dan mengambil cabang-cabang fiqh dari ilmu fiqh dan menghubungkannya kembali kepada ushul. Ini adalah bentuk takhrij yang pertama yaitu adanya hubungan furu’ yang ada dengan ushulnya yang jelas.
Bentuk kedua adalah penggalian hukum-hukum kasus dan problematika kontemporer yang tidak ada pernyataannya dari ulama, juga bersumber dari ushul qaidah-qaidah ushuliyah yang menjadi landasan furu’ yang baru, sebagaimana furu’ itu diambil dari fiqh yang menyerupainya dan diberlakukan sesuai dengan metode imam dan mengistinbatkan hukum dan menghubungkannya dengan berbagai qaidah.
Dr. Ya’qub al-Ba Husain mengungkapkan bahwa ilmu bahasa Arab dan ilmu khilaf (perbedaan pendapat/perbandingan mazhab) termasuk sumber ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul. [19] Kenyataannya bersumbernya dari bahasa Arab pada dasarnya kembali hakikatnya yaitu ilmu ushul fiqh, sebab qaidah-qaidah ushul dibangun dari qaidah bahasa Arab. Demikian juga ilmu khilaf dipakai oleh orang yang memakai metode perbandingan mazhab dan menjelaskan perbedaan pendapat diantara mereka dan dasar-dasarnya, hanya saja ia menunjukkan lapangan perdebatan lebih dominan dari pada lapangan takhrij.
Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul bukanlah semata-mata perbedaan pendapat antara fuqaha’ dan penjelasan sebab-sebabnya, sebagiannya menghubungkan antara ilmu takhrij dalam pengertian terdahulu dengan perbedaan pendapat (ikhtilaf) dan perdebatan, dan menjadikannya satu kesatuan dan saling terkait.



E. Manfaat dan Kegunaan Mempelajarainya

Ilmu Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul memiliki manfaat sebagai berikut :
  1. Mengenali sumber pendapat ulama dan menelusuri asalnya.
  2. Memberi perhatian terhadap penggalian hukum yang tidak ada pernyataannya dari para ulama. Ilmu ini akan menumbuhkan kemampuan fiqh, melatih pemerhati dalam mengistinbathkan dan mentarjih serta mengklasifikasikan masalah-masalah dan mendasarkan kepada dalil-dalil, dan mengetahui berbagai pendapat ulama dalam berbagai masalah yang tidak ada nashnya, dan hukum-hukum kontemporer yang muncul.
  3. Ilmu ini mengeluarkan ilmu ushul fiqh dari aspek teoritisnya kepada aspek aplikasi praktis, sehingga didapatkan buah (hukum) yang lahir dari qaidah ushuliyah, sehingga ilmu ushul menjadi tambah jelas.
  4. Dengan mengeluarkan ilmu ushul fiqh dari aspek teoritisnya kepada aspek aplikasi praktis, membuktikan adanya hubungan antara fiqh dan ushulnya,
  5. Dalam takhrij yang memperbandingkan antara mazhab-mazhab dan menjelaskan dasar-dasar perbedaan pendapat ulama, menampakkan bahwa ikhtilaf yang terjadi antara ahli-ahli fiqh dalam mengistinbathkan hukum bukanlah lahir dari keinginan hawa nafsu atau berhukum kepada akan semata dan mendahulukanya dari pada syara’, tetapi menjelaskan bahwa perbedaan itu terjadi atas dasar ilmiah, qaidah-qaidah dan metodologi dalam istinbath.
  6. Seiring dengan mengembalikan hukum-hukum fiqh kepada qaidah ushul serta mengetahui bahwa semua perbedaan pendapat kembali kepada sumber dan metode istinbath, seorang pemerhati mengetahui pendapat yang rajih dari yang marjuh dalam qaidah-qaidah ushul, yang sangat membantu mendekatkan antara mazhab-mazhab dan meminimalisir pertentangan antara para pengikutnya. [20]  
F. Penutup
Demikian tulisan ini penulis sajikan kehadapan pembaca, semoga membawa manfaat. Penulis menyadari bahwa dalam penyajiannya masih banyak terdapat kekurangan, untuk itu penulis membuka hati dan pikiran untuk menerima masukan berupa kritik dan saran demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya, kepada Allah SWT jualah kita berserah diri sembari tetap memohon taufik dan hidayahNya untuk keselamatan hidup kita di dunia dan akhirat. Amin.













[1]Makalah ini disajikan dalam  mata kuliah Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul. Mata kuliah ini merupakan mata kuliah keahlian bagi mahasiswa S3 Hukum Islam UIN Suska Riau. 
[2] Ibn Manzhur, Lisan al-Arab, jilid II, h. 252-253. Pengertian secara bahasa ini dikutip oleh Muhammad Bakr Ismail Habib dalam Ilmu Takhrij al-Furu ala al-Ushul yang dimuat dalam Majallah Jami’ah Ummul Quro li Ulum al-Syariah wa al-Dirasat al-Islamiyah, 1429 H, h. 286.
[3] Ibid, h. 286-287.
[4] Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, al-Musawwidah, Muhaqqiq : Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Beirut : Dar al-Kutub, tt, h. 533.
[5] Lihat Syekh Wali Allah al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf,  ditahqiq oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, tt, Dar al-Nafa’is, 1406 H, jilid I h. 6.
[6] Lihat Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad, Kairo : Maktabah Ibn Taimiyah, tth, 56. 
[7] Lihat Ibn Farhun al-Maliki, Kasyf al-Naqab al- Hajib fi Mushthalah Ibn al-Hajib, ditahqiq oleh Hamzah Abu Faris dan Abd al-Salam al-Syarif, tt : Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1990, h. 104. 
[8] Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, tt, hal. 42-43.
[9] Muhammad Riyadh, Ushul al-Fatwa wa al-Qadha’ fi al-Mazhab al-Maliki, Maroko : Mathba’ah al-Najah, 1416 H, cet. I, h. 577.
[10] Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damascus : Dar al-Fikri, 1998, h. 16. Lihat juga Satria Efendi, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005, h. 2.
[11][11] Wahbah al-Zuhaili, Op.cit, h. 605.
[12] Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Semarang : Dina Utama, 1994, h. 80
[13] Ibid, Lihat juga Wahbah al-Zuhaili, Op. cit, h. 606.
[14] Muhammad Bakar Ismail Habib, Op.cit, 286-288
[15] Syekh Ya’qub al-Ba Husain, al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin, Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1414 H, cet. I, h. 11-12
[16] Musfir bin Ali bin Muhammad al-Qahthani, Manhaj Istimbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, Jeddah : Dar al-Andalus al-Hadhra’, 2004, h. 482.
[17][17] Ibid, h. 484-485.
[18] Muhammad Bakar Ismail Habib, Op.cit, h. 295.
[19] Syekh Ya’qub al-Ba Husain, Op.cit, h. 61.
[20] Ibid.

1 komentar: