Selasa, 03 Mei 2011

Anjuran Melihat Wanita Yang Akan Di Pinang

Masalah Pertama
ANJURAN MELIHAT WANITA YANG AKAN DIPINANG

وَعَنْ جَابِرٍ - رضي الله عنه - قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمُ الْمَرْأَةَ , فَإِنْ اِسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ مِنْهَا مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا , فَلْيَفْعَلْ - رَوَاهُ أَحْمَدُ , وَأَبُو دَاوُدَ , وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ , وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ.
Dari Jabir RA, katanya : Rasulullah SAW bersabda : Bila salah seorang dari kalian melamar seorang perempuan, jika ia mampu untuk melihat apa yang membuatnya tertarik menikahinya maka lakukanlah. HR. Ahmad, Abu Daud, dan tokoh-tokohnya terpercaya (tsiqot), dan hadis ini dishahihkan oleh al-Hakim. [1]

A. Takhrij al-Hadits :
Pelacakan hadits melalui kalimat : إذا خَطَبَ أَحَدُكُمُ المَرْأَةَ didapatkan teks-teks hadis yang senada, antara lain :
No
Nama Kitab
Judul/Bab
Juz/No. Hadis
Hal
1
Sunan Abu Daud
Laki-laki melihat wanita pinangan
I/VII/2802/2084
275
2
Musnad Ahmad
Musnad Jabir ibn Abdillah
30/14960
494
3
Sda
Sda
31/15250
284
4
Sda
Jilid III
3/14640/14586
334
5
Sda
Jilid III
3/14930/14869
360
6
Sunan al-Baihaqy
Laki-laki melihat wanita pinangan
2/13869
220
7
Sunan al-Kubra
Laki-laki melihat wanita pinangan
7/13265
84
8
Sunan al-Shugra
Menundukkan pandangan
2/2459
204
9
Jami al-Hadits karya Jalaluddin al-Suyuthi
Iza bersama huruf Kho
3/1855/1856
95
10
Jami al-Ushul min Ahadits al-Rasul
Aisyah/8501
1/11/8972/9085
-
11
Jamul Jawami
Huruf Hamzah
1/1866
2205
12
Sda
Sda
1/1867
2206
13
Sda
Sda
1/1868
2207
14
Sda
Sda
1/1869
2208
15
Subul al-Salam
Melihat pinangan
4/916
436/437
16
Kutub al-Tisah
Musnad Jabir ibn Abdillah
24/273
394/395
17
Syarh Maani al-Atsar
Laki-laki yang ingin menikahi perempuan apakah halal baginya ...
3/3960
14

B. Riwayat Singkat Periwayat Hadis
1, Jabir Ibn Abdillah
Nama lengkap Jabir adalah Jabir ibn Abdillah ibn Umar ibn Haram ibn Tsalabah al-Khazraji al-Sulami. Menurut Ibn Saad dan al-Haitsam, Jabir wafat pada tahun 73 H, Menurut Muhammad ibn Yahya ibn Hibban dan Abu Naim, ia meninggal pada tahun 77 H dalam usia 94 tahun, sedangkan menurut Umar ibn Ali dan Yahya ibn Bakir, Jabir meninggal pada tahun 78 H. Jabir mempunyai kunyah Abu Abdillah atau Abu Abdirrahman dan ada pula yang mengatakan Abu Muhammad, sedangkan laqabnya al-Khazraji dan al-Sulami.
Jabir menerima hadis dari Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar, Ali, Abu Ubaidah, Thalhah, Muaz ibn Jabal, Ammar ibn Yasir, Khalid ibn Walid, Abu Burdah ibn Nayar, Abu Qatadah, Abu Hurairah, Abu Said, Abdullah ibn Anis, Abu Humaid al-Saidi, Ummu Syuraik, Ummu Malik, Umi Mubassyir, Umi Kaltsum ibn Abi Bakar al-Shiddiq.
Ulama yang pernah menerima hadis dari Jabir antara lain : Abdurrahman, Uqail dan Muhammad (ketiganya anak Jabir), Said ibn al-Musayyab, Mahmud ibn Lubaid, Abu al-Zubair, Amr ibn Dinar, Abu Jafar al-Baqir, Muhammad ibn Amr ibn Hasan (saudara sepupunya), Muhammad ibn al-Munkadir, Abu Nadhrah al-Abdi, Wahab ibn Kaisan, Said ibn Mina, al-Hasan ibn Muhammad ibn al-Hanafiyah, Said ibn al-Harits, Salim ibn Abi Jad, Aiman al-Habsyi, al-Hasan al-Bashri, Abu Shalih al-Saman, Said ibn Ani Hilal, Sulaiman ibn Atiq, Ashim ibn Umar ibn Qatadah, al-Syabi,  Abdullah dan Abdurrahman (keduanya anak Kaab ibn Malik), Abu Abdurrahman al-Habli, Abdullah ibn Maqsam, Atha ibn Abi Ribah, Urwah ibn al-Zubair, Mujahid, al-Qaqa ibn Hakim, Zaid al-Faqir (Salamah ibn Abdirrahman ) dan Abu Sufyan.
2. Waqid ibn Abdurrahman.
Waqid ibn Abdirrahman tidak diketahui tahun lahir dan wafatnya. Ia menerima hadis antara lain dari Ashim Ibn Muhammad. Diantara murid-murid yang menerima hadis darinya antara lain Yahya ibn Idam, Ahmad, Abu Daud, dan Ibn Main. Ibn Hibban menilainya tsiqah. Abu Hatim menilainya la basa bih, tsiqah. Ia termasuk tokoh dalam garis riwayat Bukhari, Muslim, Abu Daud dan al-Nasai. [2]
3. Daud Ibn al-Hushain
Daud Ibn al-Hushain al-Amawi (w. 135 H), menerima hadis antara lain dari bapaknya Ikrimah, Nafi, Abu Sufyan ibn Abi Ahmad, Ummi Sad binti Saad al-Rabi dan lain-lain. Sedangkan ulama (murid) yang menerima hadis darinya antara lain : Malik, Muhammad ibn Ishak, Muhammad ibn Ubaidillah ibn Abi Rafi, Ibrahim ibn Abi Habibah, Ibrahim ibn Abi Yahya, Zaid ibn Jubairah, dan lain-lain. Para ulama hadis seperti Ibn Main, Ibn Adi, Ibn Hatim, Ibn Saad, al-Ijli dan Ibn Sahin menilainya tsiqah, ia juga rijal pada Kutub al-Sittah. [3]
4. Muhammad ibn Ishak
Muhammad ibn Ishak ibn Yasar ibn Khiyar (w. 152-3 H), menerima hadis dari Ibrahim ibn al-Muhajir,
C. Rangkaian Perawi Hadits
Sehubungan hadis yang dikutip dari kitab Bulugh al-Maram di atas tidak lengkap sanadnya, maka untuk mengetahui sanadnya diambil dari hadis riwayat Ahmad dari kitab Musnad Imam Ahmad dan riwayat Abu Daud dari kitab Sunan Abu Daud. Dari penelusuran kedua kitab tersebut dapat dilihat rangkaian sanadnya, yaitu :
  1. Abdullah Imam Ahmad, Yunus ibn Muhammad Abdul Wahid ibn Ziyad Muhammad ibn Ishak - Daud ibn al-Hushain Waqid ibn Abdurrahman Jabir.
  2. Abu Daud Musaddad Abdul Wahid ibn Ziyad - Muhammad ibn Ishak - Daud ibn al-Hushain Waqid ibn Abdurrahman Jabir.
Untuk lebih jelasnya mengenai rangkaian perawi ini dapat dilihat pada bagan berikut.
D. Analisis Sanad dan Matan
Berdasarkan silsilah para perawi di atas, dan gambaran teks hadits sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam kitab al-Musnadnya, dapat disimpulkan bahwa antara para perawi tersebut ( Abdullah, Ahmad ibn Hanbal, Yunus ibn Muhammad, Abdul Wahid ibn Ziyad dan Muhammad ibn Ishak ) pernah bertemu, punya hubungan murid dan guru. Kata yang dipakai dalam periwayatannya adalah haddatsani/haddatsana, yang jelas mengindikasikan pernah bertemu. Hanya dari Muhammad ibn Ishak sampai Jabir yang memakai kata an (muanan). Meskipun demikian berdasarkan tahun lahir dan wafatnya, para perawi ini diyakini pernah bertemu dan memiliki hubungan guru dan murid. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadits ini muttashil sampai kepada Rasulullah SAW. Dalam kitab Bulugh al-Maram karya Ibn Hajar al-Asqalani ditegaskan bahwa hadits ini Shahih, tokoh-tokoh perawinya tsiqah, dan memiliki syahid yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan al-Nasai dari al-Mughiroh.
 Hadits ini diriwayatkan secara maknawi, karena terdapat perbedaan redaksi antara beberapa kitab hadits namun nuansa dan tujuannya sama. Ada beberapa macam redaksi yang dipakai oleh perawinya, seperti kata al-Marah dan Imroah, kata Istithoah dan Qodaro, dan bahkan menegaskan tidak berdosanya (La Junaha ) melihat wanita yang akan dipinang sebagai ganti kata suruhan melihat (falyafal). Jika hadits ini dicermati dengan seksama, maka tidak terlihat adanya kejanggalan (syaz) atau hal-hal yang irrasional baik dari segi uslubnya maupun dari segi makna yang dikandungnya. Yang terlihat berbeda adalah tatacara sahabat mengimplementasikan perintah Rasul untuk melihat perempuan yang akan dipinang, baik secara diam-diam atau sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, baik dari balik tirai, dari bawah atap tenda, dari balik pohon kurma atau dari bawah pelepah kurma, namun perbedaan tersebut tidak mengurangi keshahihan hadits ini.
D. Fiqh Hadits
Hadits ini memuat anjuran kepada laki-laki yang hendak melamar seorang perempuan untuk dikawini, agar melihatnya terlebih dahulu sebelum menyatakan maksud lamarannya, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, agar ketika melamar itu hatinya mantap karena telah mengetahui sesuatu yang membuat hatinya tertarik untuk menikahi perempuan tersebut.
Ibn Rusyd menyatakan dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid wa al-Nhayah al-Muqtashid, bahwa melihat kepada perempuan ketika meminangnya, hal itu dibolehkan oleh Malik, yaitu melihat muka dan telapak tangannya saja. Ulama lain membolehkan melihat seluruh badannya  selain dua aurat besar, tapi dilarang secara mutlak oleh sekelompok ulama lain. Abu Hanifah membolehkan melihat kedua tumit beserta muka dan telapak tangan. Sebab perselisihan pendapat mereka adalah adanya perintah melihat kepada perempuan  secara mutlak, ada pula larangan secara mutlak dan ada pula secara terbatas, yaitu muka dan telapak tangan sebagaimana pendapat kebanyakan ulama berdasarkan firman Allah ( dan janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya kecuali yang yang sudah nampak...), yaitu muka dan telapak tangan, dan berdasarkan qiyas bolehnya membuka keduanya pada waktu haji menurut kebanyakan ulama, juga pendapat yang melarang menurut asalnya, yaitu haramnya melihat wanita. [4]
Menurut mazhab Syafiiyah, melihat wanita yang dipinang setelah adanya azam (keinginan kuat) untuk menikahinya adalah mustahab, dan menurut satu versi mubah. Perintah ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW kepada Mughirah ibn Syubah : Lihatlah dia, karena hal itu dapat memperkuat cinta kasih diantara kalian berdua. Larangan atau keharaman melihat perempuan bukan mahram adalah ketika dikhawatirkan akan muncul fitnah. [5]
Menurut pendapat mazhab Hanbali sebagaimana termaktub dalam kitab Syarh Ahshar al-Mukhtashorot[6] karya Ibn Jibrin dijelaskan bahwa seseorang yang hendak melamar seorang perempuan yang dipercayainya akan menerimanya agar melihat sesuatu yang bisa dilihatnya dari perempuan tersebut menurut cara yang biasa. Hal tersebut berdasarkan beberapa hadits, seperti hadis Mughirah yang ketika hendak melamar seorang perempuan, ia disuruh Nabi untuk melihatnya dulu.  Dalam hadis lain Rasulullah bersabda : Bila salah seorang diantara kalian hendak melamar seorang perempuan maka hendaklah dilihatnya dulu, karena hal itu akan memunculkan perasaan saling mencintai. Namun mereka berbeda pendapat apakan melihat itu secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan ? Menurut pendapat mayoritas, melihat itu secara diam-diam, berdasarkan hadis Jabir yang melihat calon isterinya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya dari bali dinding atau pohon kurma. Yang boleh dilihat adalah sesuatu yang bisa dilihat secara biasa seperti muka, rambut, telapak tangan dan tumit. Melihat secara terang-terangan boleh tapi tidak sedang berkhalwat, dihadiri oleh salah seorang mahromnya seperti ayahnya atau saudaranya, dilihat ketika sedang berdiri, baik dari depan atau belakang, dilihat wajahnya, telapak tangannya, rambutnya, lehernya panjang atau pendek, dan lain-lain.
Tempat-tempat yang boleh dilihat sebelum atau sewaktu melamar, masih diperselisihkan di kalangan ulama. Menurut Jumhur ulama, laki-laki hanya boleh melihat muka dan telapak tangannya, karena melihat muka untuk melihat kecantikan dan kemolekan perempuan, begitu juga telapak tangan sebagai simbol kesuburan dan kemulusan kulit wanita. Menurut Daud al-Zhahiri (261 H), boleh melihat seluruh badannya, sedang al-Auzai (157 H) berpendapat boleh melihat tempat-tempat tumbuh daging (otot), hadits-hadits tersebut tidak menjelaskan tempat-tempat yang boleh dilihat, tapi berlaku mutlak melihat kepada sesuatu yang mewujudkan maksud melihat tersebut, alasannya atsar yang diriwayatkan oleh Abd al-Razzak dan Said ibn Manshur, bahwa Umar RA melamar anak perempuan Ali yang bernama Ummu Kaltsum. Ali menyatakan bahwa anaknya masih kecil, seraya berkata nanti ia akan kuutus menemuimu, kalau engkau suka maka ia jadi isterimu. Ketika Ummu Kaltsum bertemu Umar, Umar menyingkapkan sebagian betisnya, lalu Ummu Kaltsum berkata : Jika engkau bukan Amirul Mukminin niscaya aku tonjok kedua matamu. Bila sudah dilihatnya tapi ia tidak tertarik maka hendaklah ia diam dan tidak berkomentar apapun, agar tidak menyakiti hati perempuan dengan komentarnya, karena bisa jadi ia tidak tertarik tapi orang lain yang tertarik.
Hukum ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki tetapi juga perempuan, ia berhak melihat laki-laki yang melamarnya sebab ia perlu melihat sesuatu yang membuatnya tertarik sebagaimana laki-laki tertarik kepadanya. Umar berkata : Janganlah kalian nikahkan anak perempuan kalian dengan laki-laki yang jelek, karena perempuan juga tertarik kepada laki-laki sebagaimana laki-laki tertarik kepada wanita.[7]
Berdasarkan berbagai pendapat yang berkembang seputar wilayah yang boleh dilihat dari perempuan yang hendak dilamar, penulis lebih cenderung memilih pendapat Jumhur ulama, yaitu melihat sebatas muka dan telapak tangan dengan beberapa alasan, baik dari al-Quran dan Sunnah maupun rasional. Alasan berdasarkan al-Quran adalah surat an-Nur ayat 31 : ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها  ( dan janganlah mereka (perempuan) menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak darinya...). Dalil hadis yang dapat dijadikan sandaran hukum adalah petunjuk Rasulullah SAW kepada Asma binti Abu Bakar bahwa seorang perempuan yang sudah baligh hanya boleh memperlihatkan muka dan tekapak tangannya saja. Ketentuan ini berlaku terhadap perempuan yang biasa berpakaian gamis dan jilbab, dan antara kedua calon mempelai ini belum pernah bertemu atau bergaul dekat, atau pernikahan itu atas dasar dijodohkan oleh keluarga.  Namun dengan kondisi wanita Islam Indonesia yang masih banyak tidak menutup aurat, ditambah lagi dengan realitas sudah dekatnya hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebelum menikah, maka melihat juga tidak urgen lagi, karena kedua pihak sudah lama saling lihat melihat, saling menilai karakter, saling memahami sikap dan sifat masing-masing.
Dalam kondisi yang pertama (belum saling mengenal atau dijodohkan), maka teknis melihat itu dapat dilakukan secara bertahap, yaitu secara diam-diam tanpa sepengetahuan sang perempuan, sebagai landasan bagi laki-laki untuk menentukan sikap apakah akan mengajukan lamaran atau tidak. Bila hatinya sudah mantap (azam), maka barulah melihatnya secara terang-terangan dengan disaksikan keluarga kedua belah pihak.
Dari segi rasio, pada masyarakat yang pergaulannya terbatas, dimana perempuan tidak memiliki peran sosial yang luas serta tertutup dari pergaulan umum, maka persoalan melihat calon isteri memang dirasa penting. Namun patut dimengerti juga bahwa banyak perempuan tidak suka bila dilihat dan dinilai secara terbuka, sehingga laki-laki yang berminat melamarnya mesti melihatnya secara diam-diam. Namun pada masyarakat yang sudah terbuka pergaulannya dan sering terjadi interaksi antara laki-laki dan perempuan di tempat umum, seperti sekolah/kampus, kantor, pasar dan kegiatan kemasyarakatan, maka pengertian melihat ini dapat diperluas seperti taaruf kedua keluarga, pertunangan, tapi tidak termasuk berpacaran yang tidak sesuai dengan tuntunan Islam. Pada masa inilah kedua belah pihak saling mengenal sikap dan sifat masing-masing.  Kalau antara laki-laki dan perempuan tersebut sudah kenal dekat dan sudah bergaul cukup lama untuk mengenali dan memahami berbagai aspek dari calon pasangannya maka melihat tidak lagi menjadi sesuatu yang urgen sehingga lamaran sudah boleh dilakukan walaupun tanpa melihat lagi.







Masalah Kedua
LARANGAN MEMINANG WANITA YANG DILAMAR ORANG LAIN HINGGA IA MENINGGALKANNYA ATAU MENGIZINKANNYA
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - - لَا يَخْطُبْ بَعْضُكُمْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ , حَتَّى يَتْرُكَ اَلْخَاطِبُ قَبْلَهُ , أَوْ يَأْذَنَ لَهُ اَلْخَاطِبُ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ , وَاللَّفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

Dari Ibn Umar RA, katanya : Rasulullah SAW bersabda : Janganlah sebagian kalian melamar wanita yang dilamar saudaranya hingga ditinggalkan oleh pelamar sebelumnya atau diberinya izin. Muttafaq Alaih, dan Lafaz menurut al-Bukhari. [8]

A. Takhrij al-Hadits
Hadis di atas setelah diteliti dari kitab karya Bukhori dan Muslim baik secara digital maupun manual dengan kata لا يخطب بعضكم  ternyata hadis dengan lafaz seperti itu tidak ditemukan dalam kitab Shahih keduanya, demikian pula rangkaian sanadnya dari Ibn Umar sampai perawi terakhir. Lafaz tersebut ketika dilacak secara digital melalui program al-Maktabah al-Syamilah hadis ini ditemukan pada kitab Jami al-Ushul min Ahadis al-Rasul karya Ibn al-Atsir (609 H) dan Kutub al-Tisah  pada bab Musnad Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab, tapi tidak satupun hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, selain dari catatan kaki dalam kitab Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam yang menyatakan bahwa Hadis Bukhori no. 5142 dan Hadis Muslim no. 1412. Perawi yang ditemukan antara lain seperti Malik dalam al-Muwatthonya, Abu Daud, Nasai, dan Ahmad. Setelah dilacak dengan kata لا يخطب الرجل  dan لا يخطب أحدكم hadis tersebut ditemukan lengkap dengan sanadnya dalam kitab Shahih Ibn Hibban , pada nomor 1407, 3980 dan 3984. Salah satu bunyi teks hadis tersebut adalah :
أخبرنا أبو يعلى ، قال: حدثنا عليُّ بنُ الجعد ، قال: أنبأنا صَخْرُ بن جُويريَة ، عن نافعٍ عن ابنِ عُمَرَ ، عن رسولِ الله قال : «لا يَخْطُبُ الرَّجُلُ على خِطْبَةِ أخيهِ حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ الأَوَّلُ أو يَأْذَنَ لَهُ فَيَخْطُب .
Untuk lebih jelasnya  mengenai posisi hadis-hadis tersebut dapat dilihat pada tabel berikut.
No
Nama Kitab
Judul/Bab
Juz/No. Hadis
Hal
1
Jami al-Ushul min Hadits al-Rasul
Aisyah
11/
8967
2
Sda
8501
1
9080
3
Musnad Sahabat dalam Kutub al-Tisah
Musnad Abdulah Ibn Umar ibn al-Khattab
14
481
4
Shahih Ibn Hibban

IV/1407/3980/3984
171

B. Riwayat Singkat Sahabat Periwayat Hadits
Abdullah ibn Umar ibn al-Khattab adalah salah seorang sahabat Nabi yang bernama Abdullah, ia ahli fiqih, lahir dari seorang ibu bernama Zainab, dipanggil juga dengan nama Raithoh binti Mazhun, saudara perempuan Ustman dan Qudamah, dua orang anak Mazhun. Abdullah lahir pada tahun ke 2 atau 3 kenabian (10 tahun sebelum hijrah) atau tahun 618 M, sebab ketika terjadi perang Badr umurnya baru 13 tahun. Ia wafat pada tahun 73 atau 74 H ( 693 M) di Makkah dalam usia 76 atau 77 tahun.
Abdullah meriwayatkan sejumlah 2630 hadits. Sejumlah 1700 diantaranya disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Bukhari sendiri meriwayatkan 81 dan Muslim sendiri meriwayatkan 31 hadits.
Beliau menerima hadits dari Nabi sendiri dan dari sahabat. Diantaranya ialah ayahnya sendiri Umar, pamannya Zaid, saudara kandungnya Hafsah, Abu Bakar, Utsman, Ali, Bilal, Ibnu Masud, Abu Dzar dan Muadz. Hadits-haditsnya banyak diriwayatkan oleh sahabat dan tabiin. Diantara para sahabat ialah Jabir dan Ibnu Abbas, putera-putera beliau sendiri yaitu Salim, Abdullah, Hamzah, Bilal dan Zaid.
Diantara tabiin ialah Nafi, Said ibn Al Musaiyab, Alqamah ibn Waqqash Al Laitsy, Abu abdur Rahman Al Qahry Masruq, Abdur Rahman ibn Abi Laila, Musab ibn Saad ibn Abi Waqqash, Urwah ibn az Zubair.
Diantara para mawaly ialah Abdullah ibn Dinar Al Adawy, Musa ibn Uqbah, Atha ibn Abi Rabah, Thariq ibn Amral Amawy, Mujahid ibn Jaafar, ibn sirrin, Muhammad Abu Bakr Al Bishry Al Hasan ibn Hasan Al Bishry, Shafwan ibn Sulaiman, Az Zuhry.
Menurut Malik, selama 60 tahun sesudah nabi wafat Ibn Umar memberi fatwa dan meriwayatkan hadits. Ibn Bakar mengatakan, Ibnu Umar menghafal semua yang didengar dari rasul dan bertanya kepada orang-orang yang menghadiri majlis-majlis Rasul tentang tutur dan perbuatan Rasul. Abdullah ibn Umar adalah orang yang kedua antara 7 sahabat yang banyak meriwayatkan hadits. Beliau tidak mau campur tangan atas segala rupa fitnah yang terjadi dimasanya. Dalam kalangan sahabat beliau terkenal sebagai orang yang sangat meladani segala gerak-gerik Rasul.
C. Rangkaian Sanad
Hadis yang dikutip dari kitab Bulugh al-Maram di atas tidak menyebutkan rangkaian sanad secara jelas, tapi hanya mencantumkan perawi pertama yaitu Ibn Umar.  Namun dari pelacakan secara digital melalui program Al-Hadis al-Syarif Library terhadap hadis lain yang senada namun diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam kitab Shahihnya, didapat rangkaian sanad sebagai berikut :
1.  Ibn Hibban Ahmad ibn Yahya ibn Zuhair Muhammad ibn Ahmad ibn Zaid Umar ibn Ashim Syubah Daud ibn Farahih Abu Hurairah (hadis no. 3980)
2. Ibn Hibban Abu Yala Ali Ibn al-Jad - Shakhr ibn Juwairiyah -  Nafi Ibn Umar. (hadis no. 3984)
3. Ibn Hibban Umar ibn Said ibn Sinan Ahmad ibn Abu Bakar Malik Nafi Ibn Umar (hadis no. 1407).


Untuk lebih jelasnya rangkaian sanad di atas dapat dilihat pada bagan berikut :


D. Analisis Sanad dan Matan
Berdasarkan silsilah para perawi dan redaksi hadis sebagaimana terdapat dalam riwayat Ibn Hibban di atas, terlihat bahwa  antara para tersebut pernah bertemu, punya hubungan murid guru. Indikasi ini terlihat dari pola penerimaan informasi dari perawi kepada perawi lainnya, dari Ibn Hibban sampai Shakhr ibn Juwairiyah memakai kata Akhbarona, Haddatsana, Ambaana, dan dari Shakhr ibn Juwairiyah sampai Ibn Umar memakai kata an.  Dari jalur Umar ibn Said ibn Sinan kepada Ahmad ibn Abi Bakar memakai kalimat akhbarona, dan dari Malik sampai Ibn Umar memakai kata an.  Demkian pula dari jalur Abu Hurairah, dari Ibn Hibban kepada Ahmad ibn Yahya ibn Zubair memakai kata akhbarona, dari Ahmad ibn Yahya kepada Muhammad ibn Ahmad ibn Zaid memakai kata haddatsana, dari Muhammad  ibn Ahmad kepada Umar ibn Ashim memakai kata akhbarona, sementara dari Umar ibn Ashim kepada Syubah memakai kata haddtsana lagi, dan selanjutnya dari Syubah sampai Abu Hurairah memakai kata an.  
Hadits ini diriwayatkan secara maknawi, karena terdapat perbedaan redaksi antara beberapa kitab hadits namun nuansa dan tujuannya sama. Ada beberapa macam redaksi yang dipakai oleh perawinya, seperti kata لا يخطب بعضكم  dan لا يخطب الرجل serta لا يخطب أحدكم , Jika hadits ini dicermati dengan seksama, maka tidak terlihat adanya kejanggalan (syaz) atau hal-hal yang irrasional baik dari segi uslubnya maupun dari segi makna yang dikandungnya, sehingga dapat disimpulkan bahwa hadis ini shahih, apalagi didukung dengan syahid yang banyak.


E Fiqh Hadits
Hadis ini menjelaskan larangan meminang perempuan yang telah dipinang oleh laki-laki lain. Nabi mengajarkan kode etik melamar perempuan bagi sahabatnya yaitu tidak boleh melamar wanita yang sudah dilamar laki-laki sebelum jelas diterima atau ditolak demi menjaga perasaan sesama laki-laki, menutup peluang munculnya konflik sosial yang disebabkan perebutan terhadap perempuan. Menurut al-Khatthabi, larangan ini untuk mendidik, bukan mengharamkan. Zahirnya, larangan ini berlaku untuk pinangan yang diterima atau ditolak. Menurut Ijma, keharaman itu berlaku setelah adanya penerimaan, baik langsung dari perempuan mukallaf yang sekufu atau dari wali anak perempuan yang masih kecil.  Jika tidak sekufu maka harus ada izin dari wali, sebab ia berhak melarang terutama dalam penerimaan pinangan secara tegas, namun jika penerimaannya tidak tegas maka menurut pendapat yang terkuat adalah tidak haram, begitu juga jika penolakan atau penerimaan belum jelas.
Ada dua alasan yang membolehkan peminangan itu tetap dilakukan, pertama jika pelamar pertama meninggalkannya atau ia memberi izin untuk orang lain yang berminat (bersaing secara sportif).
Kata saudaranya dalam hadis ini menunjukkan bahwa keharaman melamar wanita yang dilamar laki-laki lain adalah pada wanita yang dilamar oleh laki-laki muslim, bukan orang kafir atau fasik. Menurut al-Amir al-Husain dalam kitab al-Syifa, boleh melamar atas lamaran orang fasik, terutama jika wanita yang dilamar itu afifah (menjaga kehormatan) sehingga ia tidak sekufu dengan orang fasik dan lamarannya dianggap tidak ada. [9]

Masalah Ketiga
KEBOLEHAN WANITA MENAWARKAN DIRI KEPADA      LAKI-LAKI YANG SHALEH DAN MAHAR BERUPA JASA

حدّثنا قَتيبةُ حدَّثَنا عبدُ العزيز بن أبي حازم عن أبيه عن سهل بن سعدٍ الساعِدِيِّ قال: «جاءَت امراةٌ إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت: يارسول الله جِئتُ أهَبُ لك نفسي. قال: فنظر إليها رسولُ الله صلى الله عليه وسلم فَصَعَّد النظر فيها وَصَوَّبه، ثم طَأْطَأَ رسول الله صلى الله عليه وسلم رأسَهُ، فلما رأتِ المراةُ أنه لم يَقْضِ فيها شيئاً جَلَسَتْ. فقام رجلٌ من أصحابه فقال: يارسول اللهِ إن لم يكن لك بها حاجة فزَوِّجْنيها. فقال: وهل عِندك مِن شيءٍ؟ قال: لا والله يارسول الله، فقال: اذهب إلى أهلِك فانظر هل تجدُ شيئاً، فذهب، ثم رجع فقال: لا والله ماوَجَدْت شيئاً، فقال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: انظُر ولو خاتماً من حديد. فذهب ثم رجع فقال: لا والله يارسولَ الله ولا خاتماً من حديد، ولكن هذا إزاري ـ قال سهلٌ: ـ مالَهُ رداءٌ ـ فلها نصفهُ فقال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: ماتصنَعُ بإِزارِك، إن لَبسْتَهُ لم يكن عليها منه شيءٌ، وإن لَبسَتْهُ لم يكن عليكَ منه شيءٌ. فجَلَسَ الرَّجل حتى إذا طال مجلسه قام، فرآهُ رسولُ الله صلى الله عليه وسلم مُوَلِّياً فأمَر به فدُعي، فلما جاء قال: ماذا معك من القرآن؟ قال: معي سورَةُ كذا وسورةُ كذا ـ عدَّدها ـ فقال: تَقرؤُهنَّ عن ظهر قَلْبِك؟ قال: نعم. قال: اذهب فقد مَلَّكْتُكها بما معك من القرآن».  رواه البخاري
Artinya : Dari Qutaibah....dari Sahl Ibn Sa’ad al-Sa’idi, katanya : Seorang perempuan datang menghadap Rasulullah SAW lalu berkata : Ya Rasulullah, aku datang untuk menyerahkan diriku kepada anda. Sahl ibn Sa’ad berkata lagi : Lalu Rasulullah melihat perempuan tersebut keatas dan kebawah, lalu mengangguk- anggukkan kepalanya. Ketika perempuan tersebut melihat Rasulullah tidak berminat ia lantas duduk. Lalu berdirilah seorang sahabat Nabi dan berkata : Ya Rasulullah, kalau anda tidak berminat, nikahkanlah ia sama saya. Rasulullah menjawab : Apakah engkau memiliki sesuatu untuk maharnya ? Ia menjawab : Tidak ya Rasulullah. Rasul bersabda lagi : Pulanglah kepada keluargamu dan lihatlah apa yang bisa kamu dapatkan. Ia lalu pergi, dan setelah kembali ia berkata “ Demi Allah, tidak ada apapun. Rasul bersabda lagi : Cari lagi walaupun hanya cincin besi. Ia lalu pergi lagi, dan setelah kembali ia berkata : Demi Allah, juga tidak ada walaupun cincin besi, tapi ada kain sarung saya ini, maka aku berikan separoh kepadanya. Rasulullah bertanya : Apa yang akan kamu lakukan dengan sarungmu, jika engkau pakai isterimu nanti tidak dapat apa-apa, jika dia yang memakai sarung maka kamu tidak dapat memakainya ? Laki-laki itu duduk lama sekali lalu berdiri (hendak pergi), Rasulullah melihatnya mau pergi dan memanggilnya dan bertanya : Apa ayat-ayat al-Qur’an yang kamu hafal ? Ia menjawab :  Saya menghafal surat ini dan itu (seraya menyebutkan surat yang dihafalnya). Rasulullah bertanya lagi : Apakah engkau menghafalnya dalam hatimu : Ia menjawab : Ya. Rasulullah bersabda : Aku nikahkan engkau dengannya dengan mahar ayat al-Qur’an yang engkau hafal. H. R. Bukhori.

A. Takhrij al-Hadis
Untuk melacak keberadaan hadis ini, dilakukan penelitian secara digital pada kata جِئتُ أهَبُ لك نفسي dan kata جئت لأِهَبَ لك نفسي hadis ini ditemukan dalam berbagai kitab hadis, antara lain :  
No
Nama Kitab
Judul/Bab
Juz/No. Hadis
Hal
1
صحيح للبخارى
قرأة القرآن عن ظهر القلب
Juz IV/4742
1920
2
تزويج المعسر
4967
1956
3
النطر الى المرأة قبل التزويج
V/4833
1969
4
قرأة القرآن عن ظهر القلب

XVII/ 5030/5126
31
5
النطر الى المرأة قبل التزويج
XVII/5126
183
6
صحيح لمسلم
الصداق وجواز كونه تعليم القرآن
IV/3553
143
7
المعجم الكبير للطبراني
سهل بن سعد الساعدر
VI/5907
173
8
مسند الصحابة فى الكتب التسعة
مسند سهل بن سعد
XXXV/13
324/330
9
الجمع بين الصحيحين
 البخارى ومسلم
أفراد مسلم
I/900
341

Berdasarkan tabel di atas juga tergambar bahwa para ulama penyusun kitab hadis berbeda-beda dalam memberi tema terhadap hadis di atas. Seperti al-Bukhari memberi tema yang berbeda-beda, diantaranya : Membaca al-Qur’an berdasarkan hafalan hati, Pernikahan Orang Susah, Melihat Perempuan Sebelum Menikah, sedangkan Muslim memberi tema : Mahar dan Kebolehan Berbentuk Mengajarkan al-Qur’an.
B. Riwayat Singkat Sahabat Perawi Hadis

Sahl ibn Sa’ad al-Sa’idi adalah salah seorang sahabat, nama lengkapnya Abu al-Abbas, menurut riwayat lain Abu Yahya Sahl ibn Sa’ad ibn Malik ibn Khalid ibn Tsa’labah ibn Haritsah ibn Amr ibn al-Khazraj ibn Sa’idah ibn Ka’ab ibn al-Khazraj al-Anshari al-Sa’idi al-Madini. Namanya semula adalah Hazan (sedih) lalu dinamai oleh Nabi dengan Sahl (kemudahan). Al-Zuhri berkata, Sahl menerima hadis dari Nabi SAW, dan berumur 15 tahun ketika wafatnya Nabi SAW. Ia wafat di Madinah pada tahun 88 H, namun menurut riwayat lain pada tahun 91 H. Ibn Sa’ad berkata bahwa ia (Sahl) merupakan sahabat nabi yang terakhir meninggal di Madinah. Menurut al-Bukhari dalam kitab al-Tarikh al-Kabir, Sahl meriwayatkan hadis sebanyak 128 buah, disepakati oleh Bukhori dan Muslim 28 hadis, diriwayatkan sendiri oleh Bukhori sebanyak 11 hadis. Tabi’in yang menerima hadis darinya antara lain al-Zuhri, Abu Hatim dan lain-lain.
C. Rangkaian Sanad Hadis
D. Analisis Sanad dan Matan
Melihat silsilah hadis ini maka tidak diragukan lagi tentang muttashil sanadnya, sebab hadis ini diriwayat oleh al-Bukhari yang sangat selektif dalam memilih dan mencantumkan hadis dalam kitab shahihnya, karena salah satu syarat hadis shahih yang ditentukan oleh al-Bukhari adalah sanadnya bersambung, demikian juga hadis ini diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya.
Dari sisi matannya, hadis ini diriwayatkan secara maknawi, sebab ada variasi- variasi dalam periwayatannya, misalnya kata جِئتُ أهَبُ لك نفسي, ada yang meriwayatkannya dengan kata جِئتُ لأهَبُ لك نفسي . Demikian juga dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim diungkapkan dengan kata انظُر ولو خاتماً من حديد sementara dalam kitab al-Mu’jam al-Kabir karya al-Thabrani diungkapkan dengan kata اذْهَبْ فَالْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيد. Dalam kitab shahih riwayat al-Buhkhari dan Muslim, kata-kata akhir Rasulullah adalah اذهب فقد مَلَّكْتُكها بما معك من القرآن, dan kata أَمْكَنَّاكَهَا بِمَا مَعَك مِنْ الْقُرْآن sebagaimana dalam salah satu riwayat al-Bukhari, sedangkan dalam riwayat lain diungkapkan dengan kata انْطَلِقْ فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا ، فَعَلِّمْهَا مِنْ الْقُرْآن, bahkan Abu Daud meriwayatkan dengan ungkapan ما تَحْفَظُ ؟ قَالَ : سُورَةَ الْبَقَرَةِ ، وَاَلَّتِي تَلِيهَا قَالَ : قُمْ فَعَلِّمْهَا عِشْرِينَ آيَة. Meskipun diungkapkan dengan kata yang bervariasi namun tetap dengan satu pengertian. Berbagai variasi pada matan hadis ini tidak mengurangi keshahihannya.
E. Fiqh Hadis
Para ulama hadis berbeda-beda dalam mengemukakan tema utama hadis ini. Berdasarkan redaksinya, tema-tema yang diangkatnya antara lain : Pernikahan orang susah (dalam kesempitan), Mahar dan kebolehannya dalam bentuk pengajaran al-Qur’an dan cincin besi dan lain-lain baik minimal maupun maksimal, Membaca hafalan dalam hati, Melihat perempuan sebelum dinikahi, Pernikahan budak perempuan kecil, dan menurut penulis yaitu bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki yang shaleh tanpa meminta mahar atau maharnya dapat berupa jasa yang baik dan bermanfaat.
Hadis ini juga dijadikan dasar oleh para ulama tentang bolehnya laki-laki melihat perempuan yang akan dinikahinya, dalam batasan-batasan tertentu sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya.
KESIMPULAN
Dari ketiga macam hadis di atas, penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Jika pernikahan dilangsungkan melalui perjodohan, calon suami perlu bertemu calon isterinya sebelum membulatkan niatnya untuk melamar dan menikahinya.
2. Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan wilayah yang boleh dilihat, tetapi bila dideskripsikan maka wilayah yang boleh dilihat tersebut antara lain : muka, telapak/ punggung tangan, tumit dan paling atasnya betis.
3. Dilarang melamar wanita yang sudah dilamar oleh muslim yang lain karena menjaga etika dan perasaan orang tersebut kecuali ada izinnya, namun tidak diharamkan melamar wanita yang dilamar oleh orang kafir atau fasik.
4. Seorang perempuan boleh menawarkan dirinya kepada laki-laki yang shaleh tanpa meminta mahar atau maharnya berupa jasa. Mahar boleh berbentuk apapun yang bernilai dan bermanfaat bagi perempuan asalkan ia ridho menerimanya.
والله اعلم بالصواب

MAKALAH KULIAH
HADIS AHKAM

TOPIK ;
1. ANJURAN MELIHAT WANITA YANG AKAN DIPINANG
2. LARANGAN MEMINANG WANITA YANG DILAMAR ORANG LAIN HINGGA IA MENINGGALKANNYA ATAU MENGIZINKANNYA
3. KEBOLEHAN WANITA MENAWARKAN DIRI KEPADA
 LAKI-LAKI YANG SHALEH DAN MAHAR BERUPA JASA


DISUSUN
O
L
E
H


H A S W I R
NIM : 10 S3 031

DOSEN PEMBIMBING :
PROF. DR. H. SAID AGIL HUSEIN AL-MUNAWWAR, MA



PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2010



[1] Ibn Hajar al-Asqolani, Bulugh al-Maram min Adillat al-Ahkam, hadits nomor  974. Hadis ini memiliki syawahid yang diriwayatkan oleh al-Tirmizi dan al-Nasa’i dari al-Mughirah.
[2][2] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, XI, h. 95
[3] Ibid, III, 157.
[4] Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Juz I, h. 665.
[5]  TP, Kitab al-Ibhaj fi Syarhil Minhaj, JUZ I H. 411
[6] Ibn Jibrin, Syarh Ahshar al-Mukhtashorot, juz 183, h. 1
[7] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz  II, h. 28.
[8] Ibn Hajar al-Asqolani, Op.cit, juz IV, h. 380.
[9] Ibn Hajar al-Asqolani, Subul al-Salam, (Dahlan : Bandung, tt), h. 113-114. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar