Selasa, 03 Mei 2011

PENERAPAN METODE TAKHRIJ SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENEMUKAN HUKUM MASALAH KONTEMPORER

PENERAPAN METODE TAKHRIJ SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENEMUKAN HUKUM MASALAH KONTEMPORER [1]

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Satu hal yang tak dapat dihindari dalam kehidupan ini adalah munculnya perubahan, baik dalam tataran sosial budaya, ekonomi, politik dan hukum, bahkan tak jarang merembet pada urusan agama. Salah satu fungsi agama adalah memberikan jawaban religius terhadap persoalan yang dihadapi umat agar suasana kebatinan mereka tetap tenteram dan selalu dalam koridor agama. Dengan perlunya Islam menyikapi dan mewaspadai setiap perkembangan dan perubahan, maka perlu pula dirumuskan formulasi yang jelas dalam rangka mengantisipasi perkembangan dan perubahan tersebut sesuai dengan kemaslahatan yang dicita-citakan Islam. Jika pada masa lalu ulama menjawab berbagai persoalan dengan melahirkan berbagai pemikiran fiqih, pada masa sekarang pola tersebut masih relevan untuk diterapkan. Hanya saja metodenya tidak dengan membuat tatacara ijtihad baru tetapi tetap dengan memakai pola fiqih klasik namun menghasilkan jawaban terhadap masalah baru, yang disebut Fiqh Kontemporer. Fiqih Kontemporer ini diharapkan mampu menjadi model ideal pemecahan masalah yang terjadi di zaman modern ini.
Sebenarnya setiap hasil pemikiran fiqih selalu bersifat kontemporer, karena fiqih tersebut lahir untuk menjawab persoalan yang muncul di zamannya sesuai dengan perubahan yang terjadi waktu itu. Jadi ia menjadi fiqih kontemporer di zamannya. Yang membedakan hanya pada metode ijtihad yang digunakan dan masalah yang dihadapi. Pada masa Rasul, sahabat yang bertugas diluar kota dan jauh Madinah mencari jawaban hukum berdasarkan kepada al-Qur’an, hadis dan ijtihad. [2] Pada masa sahabat, pemecahan problemtika keagamaan mengalami perkembangan yaitu munculnya ijma’ dan qiyas. Pada periode berikutnya, muncul ulama-ulama fiqh dan mujtahid yang melahirkan berbagai metode baru  seperti istihsan, istishlah, istishab, sad aw al-fath al-zariah, qaul shahabi, urf, dan syar’ man  qoblana.
Salah satu bentuk ijtihad yang dilakukan oleh para ulama dalam menyikapi munculnya masalah kontemporer adalah dengan menerapkan metode takhrij. Pada abad IV H, ketika taqlid sudah meluas dan sangat minim sekali mujtahid yang independen, dimana setiap pengikut mazhab memegang teguh pendapat imam-imamnya dan mengistimbatkan ushul dan qaidah darinya, lalu ulama setiap mazhab menjawab persoalan kontemporer dengan salah satu dari dua metode : pertama; menghubungkan masalah yang terjadi dengan hal yang serupa yang sudah digariskan oleh imam mazhabnya, yang biasa disebut mentakhrij ketentuan imam atau takhrij al-furu’ ala al-furu’. Kedua; menggali hukumnya dari dalil-dalil yang terperinci tetapi disesuaikan dengan qaidah dan ushul imamnya yang biasa disebut takhrij al-furu’ ala al-ushul. [3]
Untuk mengetahui lebih jauh bagaimana aplikasi metode takhrij dalam menangani masalah kontemporer, akan dibahas pada pasal berikut.
B. Defenisi Takhrij
Menurut tatabahasa (lughawi), kata takhrij merupakan bentuk mashdar  dari kata خرج – يخرج – تخريج  yang berarti mengeluarkan, memutuskan dari sesuatu, juga berarti perbedaan dua warna. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Taimiyah RA, takhrij adalah : وَأَمَّا التَّخْرِيجُ : فَهُوَ نَقْلُ حُكْمِ مَسْأَلَةٍ إلَى مَا يُشْبِهُهَا ، وَالتَّسْوِيَةُ بَيْنَهُمَا فِيهِ ( memindahkan masalah kepada kasus yang menyerupainya atau ada kesaamaan antara keduanya. [4] Defenisi ini juga digunakan oleh al-Mardawi [5] dan Ibn Badran. [6] Ibn Farhun[7] mendefenisikan takhrij dengan إستخراج حكم مسألة من مسألة منصوصة. (mengeluarkan hukum suatu masalah dari suatu masalah yang ada nashnya). Sedangkan menurut al-Syekh Alawi al-Saqaf, أن التخريج ان ينقل فقهاء المذهب  الحكم من نص إمامهم فى صورة إلى صورة مشابهة )fuqaha’ suatu mazhab memindahkan hukum dari pendapat imam mereka dalam satu bentuk kepada bentuk yang serupa.[8] Defenisi lain dikemukakan oleh  Syek Muhammad Riyadh : أن التخريج ان ينظر مجتهد المذهب فى مسألة غير منصوص عليها فيقيسها على مسألة منصوص عليها فى المذهب (Takhrij adalah seorang mujtahid mazhab meneliti masalah yang tidak ada nashnya lalu mengqiyaskannya kepada masalah yang ada nashnya dalam suatu mazhab). [9]
Dari berbagai defenisi di atas, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Ya’qub al-Ba Husain dalam kitabnya al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin,[10] memberikan beberapa pengertian, antara lain :
  1. Secara umum, takhrij menyampaikan kepada ushul dan qaidah yang dibangun para imam sebagai landasan sesuatu yang mereka kaitkan kepada hukum-hukum dalam masalah fiqh yang dinukil dari mereka.
  2. Secara umum, takhrij mengembalikan semua perbedaan fiqih kepada qaidah ushul.
  3. Kadang-kadang takhrij – sesuai kebiasaan pemakaiannya di kalangan fuqaha’, bermakna penggalian hukum terbatas (al-istinbath al-muqayyad), artinya menjelaskan pendapat imam dalam masalah-masalah juz’iyat yang tidak ada nashnya dengan cara mencari korelasinya dengan sesuatu yang menyerupainya, atau dengan memasukkannya kebawah salah satu qaidah.
  4. Fuqaha’ kadang-kadang memperluas takhrij dengan makna penalaran illat (al-ta’lil), atau mengarahkan pendapat-pendapat yang dinukil dari para imam dan menjelaskan sumber pendapatnya dengan cara menggali illat dan menyandarkan hukum kepadanya.
Berdasarkan pemakaian istilah takhrij di kalangan fuqaha’ dan ushuliyun, dapat disimpulkan adanya hubungan, sebagai berikut :
  1. Dari aspek ungkapan istilah takhrij terdahulu, takhrij dapat dibagi tiga :
a.      Mentakhrij ushul dari furu. Salah satu macam takhrij adalah menghubungkan kepada ushul dan qaidah para imam secara deduktif dan mengikuti cabang-cabang fiqih yang diterima dari mereka, menyingkapkan illat dan korelasinya.
b.      Mentakhrij furu’ atas ushul
Model takhrij ini menjadi ilmu yang independen. Para fuqaha’ sejak abad IV H telah menyusun banyak karangan yang mengembalikan aneka ragam fiqih kepada ushul yang menjadi landasan pendapat fuqaha’, maka mentakhrij furu’ atas ushul adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat mendorong fuqaha’ mengambil sumber pendapatnya dari hukum-hukum. Masalah yang tercakup dalam masalah ini antara lain :
1). Pembahasannya terkait dengan kondisi dalil dan qaidah yang diperselisihkan, beraneka bentuk, bukan dari aspek hakikatnya tapi dari aspek keabsahannya
c.       Mentakhrij furu’ dari furu’
  1. Pengamat pembagian takhrij mencatat adanya hubungan kesejarahan yang masuk dalam pertumbuhan masing-masing bagian.
  2. Beraneka ragamnya makna takhrij sebagaimana pembagian di atas bukanlah alasan meniadakan defenisi umum yang membatasi cakupan ilmu ini dan menjelaskan materinya.
C. Pembagian Takhrij
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa takhrij dapat dibagi tiga, yaitu mentakhrij ushul dari furu’, mentakhrij furu’ atas ushul dan mentakhrij furu’ dari furu’. Dr. Saad al-Syatari menambahkan macam yang keempat, yaitu mentakhrij ushul atas ushul. [11] Hal ini terjadi karena sebagian kaidah ushul didasarkan kepada kaidah ushul yang lain yang mengikuti dan menjadi cabangnya. Berikut adalah pembagianya :
  1. Mentakhrij ushul dari furu’.
Diantara bentuk takhrij adalah adanya interkoneksi dengan ushul dan kaidah yang berasal dari imam-imam secara induktif dan mengikuti cabang-cabang fiqih yang diriwayatkan dari mereka, mengungkapkan illat-illat dan korelasinya.
Diantara contoh takhrij ini adalah apa yang dikatakan oleh al-Imam Abu Ya’la al-Farra’ RA dalam kitab al-Uddah yang dipandang sebagai acuan kitab-kitab ushul mazhab Hambali. Imam Abu Ya’la begitu terobsesi (bersemangat) menjelaskan pendapat Imam Ahmad dalam masalah-masalah ushul dengan menggalinya dari riwayat-riwayat yang diterima darinya, lalu mengaitkan pendapat itu kepada imam Ahmad.
Bentuk takhrij ini memiliki beberapa faedah yang dapat dipetik oleh peneliti masalah kontemporer, diantaranya :
    1. Terbukanya ilmu ini terhadap kaidah-kaidah para imam, memungkinkan seorang mujtahid yang mendalami masalah nazilah untuk mentarjih pendapat-pendapat dan memilih yang terkuat berdasarkan kaidah terkuat.
2.      Ilmu ini membantu mengetahui korelasi-korelasi yang terdapat antara cabang-cabang fiqh yang memungkinkan penelitian terhadap penalaran illat, pemahaman yang benar dan mengembalikan furu’ yang diriwayatkan dari para imam kepada ushulnya.
3.      Memungkinkan seorang alim menarik kesimpulan dari mentakhrij masalah-masalah dan cabang-cabang yang tidak ada nashnya dari kejadian dan kasus terbaru sesuai kaidah yang ditakhrij atau mendapatkan penadapat yang lebih utama.
4.      Takhrij ini memperkenalkan kepada mujtahid sumber dan rujukan ulama dalam istimbath dan ushul ijtihadnya yang membantunya dalam memahami sebab-sebab perbedaan pendapat fuqoha’.
  1. Mentakhrij furu’ atas ushul
Takhrij dalam bentuk ini menjadi ilmu yang independen, orisinil dan aplikatif.[12] Sebagian fuqoha’ sejak abad IV H telah menyusun banyak kitab yang mengembalikan berbagai perbedaan pendapat fiqh kepada ushul yang menjadi dasar pendapat para imam, maka membangun furu’ diatas ushul disini adalah menjelaskan sebab-sebab dan illat-illat yang menyebabkan fuqoha’ mengambil hukum dari pendapat mereka.
Imam al-Zanjani berkata :” Jelaslah bagi anda bahwa furu’ bersumber dari ushul, dan orang yang tidak memahami proses istimbath serta tidak mengetahui bentuk pertalian antara hukum furu’ dan dalilnya yaitu ushul fiqh, ia tidak memiliki peluang dan tidak mungkin menemukan cabangnya kapanpun, sebab masalah-masalah furu berdasarkan kelapangannya dan setelah sampai kepadanya ushul yang diketahui dan kejadian yang sistematis, siapa yang tidak mengetahui ushul dan kejadiannya maka ia tidak akan mendapatkan ilmunya.
Dr. Ya’kub al-Ba Husain mendefenisikan takhrij macam ini sebagai :” ilmu yang menjelaskan tentang illat dan sumber hukum syara’ untuk mengembalikan furu’ kepadanya sebagai penjelasan sebab-sebab khilaf atau untuk menjelaskan hukum yang tidak ada nash (pernyataannya) dari para imam dengan memasukkannya kedalam kaidah dan ushul mereka”. Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan  mendefenisikannya sebagai :” Ilmu yang memperkenalkan pemakaian kaidah ushul dalam mengistimbathkan hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalil yang terperinci.”
Ilmu takhrij furu’ diatas ushul mencakup sebagian penelitian dan masalah-masalah yang tidak keluar dari hakikat ilmu fiqih dan ushul dan bentuk korelasi antara keduanya, maka diantara masalah yang tercakup dalam ilmu ini antara lain :
a.       Pembahasan yang terkait dengan keadaan dalil yang kaidah yang berbeda-beda, bukan dari aspek hakikatnya tapi dari aspek kesahihannya dan kepastian tetapnya hukum syara’ dengannya serta tetapnya hukum ini dengannya.
b.      Pembahasan yang terkait dengan proses mentakhrij hukum dari dalilnya seperti dalalah lafaz dan yang dibahas hanyalah perbedaan pendapat di kalangan imam-imam pengikut mazhab.
c.       Sebab-sebab perbedaan pendapat fuqoha’
d.      Pembahasan yang terkait dengan faqih yang mentakhrij hukum menurut kaidah para imam dan syarat-syarat yang wajib diaplikasikan.
e.       Pembahasan hukum dan furu’ fiqih dari aspek pengungkapan relevansi antara keduanya dan mengembalikannya kepada ushul imam atau ushul orang yang mentakhrij yang dinisbahkan kepada imam.
Faedah yang dapat dipetik oleh peneliti dalam masalah kontemporer dari seputar takhrij furu’ atas ushul ini antara lain :
1.       Ilmu ini menumbuhkan penguasaan fiqih dan melatih pelajar dalam mengistimbatkan, mentarjih dan mengembangkan masalah-masalah serta mendasarkannya kepada dalil.
2.       Ilmu ini memungkinkan seorang faqih memahami secara mendalam apa yang di pelajarinya dan ditelitinya dalam kitab fiqih,
3.       Ilmu ini mengeluarkan ilmu ushul dari sisi teoritisnya kepada lapangan aplikatif praktis yang kami sebut sebagai buah yang muncul dari kaidah-kaidah ushul bahkan juga kaidah-kaidah fiqih.
4.       Ilmu ini menunjukkan kepada peneliti masalah kontemporer orientasi syara’ karena berbedanya kasus yang dihadapi para fuqoha’ yang mereka istimbathkan dari hukum-hukum fiqih dan semua perbedaan pendapat ini dikembalikan kepada dasar ilmiah dan metode istimbath pendapat yang berbeda yang yang diakui.
5.       Diantara faedah takhrij adalah menguatkan pendapat mujtahid masalah kontemporer dan takhrijnya terhadap persoalan yang baru berdasarkan ushul mazhab yang membawa kepada keberlanjutan dan kekekalannya.
  1. Mentakhrij Furu’ atas Furu’
 Sehubungan hal-hal yang dinukilkan dari para imam mujtahid berupa cabang- cabang fiqh, ijtihad dan fatwa yang menyangkut hukum-hukum peristiwa yang tidak mampu mengcover semua kebutuhan manusia sepanjang zaman dan tidak mampu menjawab berbagai problematika mereka disebabkan berkembangnya berbagai bentuk muamalah, bisnis dan problematika kontemporer yang tidak ada pada masanya, pengikut mazhab berusaha keras menggali pendapat imam mereka dalam masalah hukum persoalan kontemporer dan kasus-kasus terbaru berdasarkan hal-hal yang menyerupainya atau memiliki kesamaan illat hukum dari berbagai cabang yang dinyatakan langsung oleh para imam dan tertulis jelas dalam kitab fiqh mereka.
Dr. Ya’qub al-Ba Husain mendefenisikan takhrij model ini dengan istilah :
Ilmu yang menyampaikan kepada pengetahuan terhadap pendapat para imam dalam masalah- masalah furu’yang tidak ada nash (pernyataan jelas) dari mereka dengan cara mengkorelasikannya dengan hukum yang menyerupainya ketika keduanya memiliki illat hukum yang sama atau memasukkannya dalam keumuman pernyataan atau pemahaman keduanya, atau mengambilnya dari perbuatannya atau taqrirnya...”
Mungkin juga memberikan defenisi lain dari takhrij ini, yaitu : “ Ilmu yang dengannya diketahui pendapat para imam mazhab dalam masalah-masalah terbaru yang terjadi dengan memperluas hukumnya terhadap hal-hal yang menyerupainya dari berbagai cabang fiqih mereka yang sudah ditaqrir.”
D. Kaidah-Kaidah Takhrij
1. Tidak boleh mentakhrij hukum berdasarkan pendapat para imam ketika ada nash syar’i dari al-Qur’an dan sunnah.
Ini adalah kaidah yang penting dalam mentakhrij nash-nash mazhab sebab takhrij tidak boleh kecuali setelah mencurahkan segenap kemampuan dalam mencari hukum tersebut dalam nash-nash syara’ baik al-Qur’an maupun hadis nabi, juga merujuk kepada ijma’ ulama...
Imam Syah Waliyullah al-Dahlawi : “Siapa yang ingin mentakhrij maka ia tidak boleh menyalahi sunnah atau mengeluarkan pendapat pada masalah yang ada hadisnya...juga tidak boleh menolak hadis atau atsar yang sesuai dengan pendapat suatu kaum karena adanya kaidah yang dia takhrih bersama pengikutnya.”[13]
2.  Seorang pentakhrij menguasai secara sempurna kaidah-kaidah dan furu’ mazhabnya.
Tidak sah takhrij yang dilakukan oleh faqih yang tidak mengetahui kaidah-kaidah dan furu’ suatu mazhab. Berkata Ibn Shalah : ”Mujtahid dalam mazhab al-Syafi’i  misalnya,artinya mujtahid takhrij, harus menguasai kaidah-kaidah mazhabnya yang dipakai dalam praktek qiyas dan dan tatacara penerapannya.”
Imam al-Qarafi berkata : “Seorang mufti tidak boleh mntakhrij suatu pendapat yang tidak ada nashnya dari  pendapat yang ada nashnya melainkan bila ia sudah sangat menguasai kaidah-kaidah mazhabnya dan kaidah ijma’....”
3. Seorang pentakhrij harus mengetahui ushul fiqh secara umum dan qiyas khususnya.
Kaidah ini mendorong Imam al-Qarafi melarang pentakhrij berfatwa bila ia tidak mengetahui ushul fiqh. Ia berkata : “Siapa yang tidak mengetahui ushul fiqh maka ia terlarang berfatwa, karena ia tidak mengetahui kaidah-kaidah furuq, takhshis, taqyid menurut perbedaan bentuk-bentuknya...”. Ia juga berkata :”Jelas sekali bagi orang tidak menguasai ushul fiqh agar tidak mentakhrij furu’ atau kejadian dari ushul mazhabnya dan berbagai hal yang dinukilkan darinya sekalipun banyak hapalannya terhadap nash-nash syariah dari kitab dan sunnah serta keputusan sahabat, begitu juga orang yang tidak mengetahui ushul fiqh, haram atasnya mengqiyas dan mentakhrij dari masalah yang ada nashnya, bahkan haram atasnya menggali hukum dari nash-nash syariah karena menggali furu’ perlu mengetahui ushul fiqh, dalam hal mujtahid dan muqallid sama-sama terlarang mentakhrij.
  1. Mukharrij memiliki kemampuan mengetahui sumber dan relevansi furu’ dengan ushul mazhabnya.
Kaidah ini penting sekali dalam pembolehan takhrij terhadap pendapat mazhab sebagaimana perkataan al-Amidi : “Pendapat terpilih adalah bahwa bila seorang itu mujtahid dalam mazhabnya, dimana ia memunculkan sumber pendapat mujtahid mutlak yang diikutinya...ia boleh berfatwa sebagai keistimewaan baginya dari orang awam.
  1. Mukharrij menguasai faktor-faktor eksternal terhadap hukum dan furuk-furuk fiqh diantara cabang-cabang.
Ini kaidah penting juga dalam praktek takhrij, dimana seorang pentakhrij mewaspadai adanya faktor-faktor yang merusak keabsahan takhrij atau yang datang kepada suatu hukum dalam bentuk nasakh, takhshis, dan taqyid, atau menafikan tujuan takhrij dan menyempurnakan pengetahuan faktor-faktor tersebut dengan merujuk pembahasan ushul fiqh.
Seorang peneliti juga seharusnya mengetahui perbedaan (furuq) diantara furu’ yang terjadi dan furu’ yang hendak ditakhrij, baik perbedaan (furuq) itu menjelaskan perbedaan (ikhtilaf) rentetan hukum-hukum atau menurut tingkatan maqashid yang kembali kepadanya. Ibn Taimiyah berkata : “Syarat takhrij adalah tidak boleh ada pembeda antara dua masalah.”
  1. Takhrij dilakukan terhadap pendapat para imam mazhab dari sumbernya yang diakui di kalangan ulama.
Ada beberapa sumber pendapat imam-imam mazhab antara lain :
    1. Nash imam dan yang menyamainya, untuk mengetahuinya ada dua cara :
1). Dari kitab karangan yang dinisbahkan kepada mereka dan diriwayatkan dari mereka secara shahih, seperti al-Muwattho’ karya Imam Malik dan al-Umm karya Imam al-Syafii, dll
2). Kutipan pendapat mereka oleh para pengikutnya dalam berbagai masalah yang berbeda.
b. Pemahaman nash imam, yaitu mentakhrij berdasarkan pemahaman perkataannya dalam dilalah lafaz yang wadh’i atau iltizami.
c. Perbuatan para imam, yaitu sesuatu yang diperbuat atau ditinggalkan oleh para imam yang mempaedahkan boleh atau tidaknya.
d. Taqrir imam, yaitu tidak adanya pengingkaran mujtahid terhadap apa yang diperbuat dihadapannya atau fatwa yang bersumber dari orang lain tentang berbagai masalah.
e. Hadis yang shahih,    
E. Mengetahui Hukum Nazilah Dengan Metode Takhrij
Bila seorang faqih berijtihad dengan metode takhrij terhadap pendapat para imam mazhab dan menggeluti ijtihad model ini maka dia dianggap mampu menggali hukum secara serius dalam masalah kontemporer, dia akan menjadi sangat mengetahui perkataan dan pendapat yang terkuat, maka didahulukan hasil penelitiannya yang terkuat untuk dimasukkan dalam sumber dan dalilnya, sehingga mudah baginya untuk berfatwa dan juga mudah metodenya sekalipun belum sampai derajat ijtihad independen. Imam Ibn Shalah berkata :”Seorang mukharrij boleh berfatwa dalam masalah yang tidak didapatinya dalam hukum yang terjadi yang ada nash dari imamnya sesuai takhrijnya menurut mazhabnya, inilah yang benar dan wajib diamalkan...”
Metode yang dapat memperkenalkan peneliti kepada hukum peristiwa baru dengan menggunakan metode takhrij, antara lain :
1. Takhrij dengan metode qiyas. Jumhur fuqaha’ menganggap qiyas sebagai metode yang penting yang menyampaikan kepada pengetahuan  hukum syara’ yang tidak ada nashnya. Hukum takhrij kadang-kadang berbeda-beda ditinjau berdasarkan perbedaan bentuk qiyas kepada tiga macam, yaitu :
a. Sesuatu yang diangap qath’i dengan menafikan pembeda. Jumhur ushuli dan fuqaha’ berpendapat bahwa apabila telah dianggap qath’i dengan menafikan yang berbeda diantara masalah yang tidak ada nashnya dari imam dan bandingannya dari masalah-masalah yang diketahui pendapatnya, boleh menisbahkan hukumnya kepadanya dengan menyatakan itulah mazhabnya.
b.  Sesuatu yang illatnya ada dinyatakan secara tegas. Jumhur ushuli membolehkan mentakhrij sesuatu yang sudah dinyatakan illatnya dengan tegas oleh imam atau mengisyaratkan kepadanya. Pendapat ini dipilih oleh al-Hasan bin Hamid dan Abu al-Husain al-Basri, Abu al-Khattab, Ibn Qudamah, Ibn Taimiyah.
c. Sesuatu yang sudah diketahui illatnya dengan jalan istimbath. Mentakhrij mazhab imam dengan metode qiyas yang digali dengan illat sangat banyak kaitannya dengan hal-hal terdahulu. Ulama berbeda pendapat dalam membolehkannya, dan keabsahan menisbahkan pendapat mukhorrij  kepada imam, ada dua pendapat, yaitu :
1). Tidak boleh menisbahkan suatu pendapat kepada imam melalui metode qiyas yang diistimbathkan dengan illat, ini menurut sebagian fuqaha’ dan ushuli seperti Abu Bakar al-Khilal, Abu Bakar Abdul Aziz al-Baghawi dan sebagian ulama Hanabilah. Ini menjadi pendapat paling tegas dari Abu al-Husain al-Basri, Ibn Ishaq al-Syirazi, dll.
2).  Yang diqiyaskan terhadap perkataan imam adalah pendapatnya dan sah menisbahkan kepadanya. Hal ini sudah dinisbahkan oleh Ya’qub al-Ba Husain kepada Jumhur Ulama, dan menjadi pilihan pendapat Abu Bakar al-Atsram, dan al-Khurqi serta condong kepadanya Imam al-Juwaini dan Ibn Shalah, dll

CONTOH SEBAGIAN TAKHRIJ FIQH TERHADAP
SEBAGIAN KASUS-KASUS KONTEMPORER
1. Pengamanan/Asuransi Perdagangan
Ini merupakan bentuk transaksi yang baru yang belum ada sebelum abad 14 M, sebab hal ini tidak terdapat dalam fiqih Islam kecuali ada pendapat Ibn Abidin tentang pengamanan laut (asuransi pelayaran) dan keharaman asuransi.
Ahli fiqih kontemporer berbeda dalam menetapkan hukumnya, karena berbeda dasar takhrij mereka dan tatacara penanganan masalah baru ini, diantara mereka ada yang mengharamkan asuransi berdasarkan kepada takhrij mereka yang mengqiyaskannya kepada perjudian, atau hal ini termasuk transaksi gharar sebab berupa akad spekulatif. Diantara mereka ada pula yang membolehkan pengamanan dengan mentakhrijnya kepada model tabarru’ (kebajikan) dan bukan jual beli, atau mentakhrijnya dengan qiyas kepada aqad perwalian dan membebankan diat kepada orang berakal.
2. Hak Kekayaan Intelektual (Karya ilmiah, penerbitan dan distribusi/penjualan)
Hak-hak ini belum pernah ada hukumnya dikalangan fuqoha’ awal, dan fuqoha’ kontemporer berbeda pendapat karena berdasarkan perbedaan mereka dalam takhrijnya dan proses penemuan hukumnya. Diantara mereka ada yang menetapkan adanya hak ini diqiyaskan kepada industrialisasi, sebab kitab itu disusun dan diproduksi, diantara mereka ada yang mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada pendapat dalam fiqih Hanafi tentang (Nuzul an Wazha’if bi Mal). Diantara mereka ada pula yang tidak menetapkan hak ini dengan mentakhrijnya kepada kemaslahatan menyebarkan pemikiran Islam dan melepaskannya dari seluruh pembatasan-pembatasan.
3. Masalah Implasi
Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam problematika kontemporer ini, atas dasar apa dikembalikan harga modal ketika implasi. Sebagian fuqoha’ mentakhrij jawaban ahli fiqh Qordova ketiak ditanya tentang orang yang mewasiatkan mata uang kepada seorang laki-laki, lalu mata uang itu berbeda dengan mata uang lain, mereka menjawabnya dengan mewajibkan wasiat pada mata uang yang berlaku pada hari wafatnya pewasiat, bukan pada hari ia berwasiat.
Sebagian fuqaha’ mentakhrijnya dengan mengqiyaskan kepada cuaca, sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Taimiyah : “Bila manfaat berkurang maka berkurang pula sewanya sesuai kekurangan manfaat. Imam Ahmad dan ulama lain telah menyatakan hal ini, ketika ditanya orang : Berapa sewa tanah yang airnya lancar ? Dijawab : Seribu dirham. Ditanya lagi : berapa sewanya disaat curah hujan berkurang? Dijawab : Lima ratus dirham, maka dibayarlah tanah sewa itu separoh harga yang disebutkan sebab hilang sebagian manfaatnya yang didapat dengan    aqad. [14]  






MAKALAH KULIAH S3
منهج الإجتهاد المعاصرة
METODE IJTIHAD KONTEMPORER

TOPIK ;
PENERAPAN METODE TAKHRIJ SEBAGAI SALAH SATU
UPAYA MENEMUKAN HUKUM MASALAH KONTEMPORER


DISUSUN
O
L
E
H

H A S W I R
NIM : 10 S3 031

DOSEN PEMBIMBING :
DR. H. MAWARDI MUHAMMAD SHALEH, MA


PROGRAM PASCASARJANA
UIN SUSKA RIAU
PEKANBARU
2010



[1] Makalah ini dipresentasikan dalam seminar mata kuliah Metodologi Ijtihad Fiqh Kontemporer pada PPs UIN Suska Riau S3 Prodi Hukum Islam.
[2] Metode ini tergambar dalam jawaban Muaz ibn Jabal atas pertanyaan Rasul yang menanyakan bagaimana cara Muaz menangani masalah yang muncul diwilayah tugasnya.
[3] Musfir ibn Ali ibn Muhammad al-Qahthani, Manhaj Istinbath Ahkam al-Nawazil al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, Jeddah : Dar al-Andalus al-Khudhoro’, 2003, h. 470.
[4] Ahmad ibn Abd al-Halim ibn Taimiyah, al-Musawwidah, Muhaqqiq : Muhammad Muhyi al-Din Abd al-Hamid, Beirut : Dar al-Kutub, tt, h. 533.
[5] Lihat Syekh Wali Allah al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayan Asbab al-Ikhtilaf,  ditahqiq oleh Abd al-Fattah Abu Ghadah, tt, Dar al-Nafa’is, 1406 H, jilid I h. 6.
[6] Lihat Abd al-Qadir ibn Ahmad ibn Badran, al-Madkhal ila Mazhab al-Imam Ahmad, Kairo : Maktabah Ibn Taimiyah, tth, 56. 
[7] Lihat Ibn Farhun al-Maliki, Kasyf al-Naqab al- Hajib fi Mushthalah Ibn al-Hajib, ditahqiq oleh Hamzah Abu Faris dan Abd al-Salam al-Syarif, tt : Dar al-Gharb al-Islami, cet. I, 1990, h. 104. 
[8] Alawi al-Saqaf, Al-Fawaid al-Makiyah, Mesir : Musthafa al-Babi al-Halabi, tt, hal. 42-43.
[9] Muhammad Riyadh, Ushul al-Fatwa wa al-Qadha’ fi al-Mazhab al-Maliki, Maroko : Mathba’ah al-Najah, 1416 H, cet. I, h. 577.
[10] Syekh Ya’qub al-Ba Husain, al-Takhrij inda al-Fuqoha’ wa al-Ushuliyin, Riyadh : Maktabah al-Rusyd, 1414 H, cet. I, h. 11-12
[11] Lihat Sa’ad al-Syatari, al-Takhrij baina al-Ushul wa al-Furu’, h. 144-145
[12] Syekh Usman ibn Muhammad al-Ahdhari Syausyan telah mengarang sebuah kitab sistematis untuk memunculkan ilmu ini, yang dia beri nama “Takhrij al-Furu’ ala al-Ushul”, sebuah abstarksi risalah lengkap yang diajukannya ke Fakultas Syariah Universitas Islam Muhammad ibn Saud, untuk mendapatkan gelar magister tahun 1415 H.
[13] Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Inshaf fi Bayani Asbabi al-Ikhtilaf, h. 62-63.
[14] Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 30, h. 257.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar